Warga Desa Gogok Berjuang Melawan Dampak Buruk TPA: Bau Menyengat dan Diserang Lalat
SELATPANJANG - Desa Gogok, Kecamatan Tebingtinggi Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti, kini menjadi sorotan publik setelah warga mengeluhkan dampak buruk dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang berada di dekat pemukiman mereka. Bukan hanya bau busuk yang menyengat hidung, namun juga ribuan lalat yang mengerubungi rumah-rumah warga, menciptakan keresahan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Prapti, salah seorang warga Desa Gogok, mengungkapkan keluhannya terkait kondisi yang makin memburuk.
Diharapkan pemerintah seharusnya memprioritaskan jaminan untuk seluruh warga di sekitar TPA. Mengingat dengan adanya TPA tersebut, telah menyelamatkan sampah di seluruh wilayah ibukota kabupaten.
"Dampak sampah dari TPA yang sudah menggunung dan mengeluarkan bau menyengat membuat rumah kami diserang lalat. Kenapa pula asal sampah dari kota, kami yang orang kampung harus kena dampaknya?” ujarnya dengan penuh kekesalan.
Warga setempat menduga bahwa lalat-lalat yang menyerang rumah mereka berasal dari TPA yang berada tidak jauh dari pemukiman. Kondisi ini sudah dirasakan warga selama dua tahun terakhir, namun baru sekarang keluhan mereka semakin kuat karena dampaknya semakin dirasakan.
Warga Desa Gogok itu berharap agar pemerintah segera menindaklanjuti keluhan mereka dan mencari solusi yang efektif. Bau busuk dan lalat-lalat yang semakin mengganggu bukan hanya mengurangi kenyamanan, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran akan risiko kesehatan.
"Harapan kami, masalah ini segera diperhatikan dan diselesaikan. Jangan sampai terus dibiarkan seperti ini. Kami hanya ingin hidup nyaman dan sehat tanpa gangguan bau busuk dan lalat yang bertebaran," kata Prapti penuh harap.
Kepedulian dan tanggapan cepat dari pemerintah serta dinas terkait sangat diperlukan untuk menyelesaikan masalah ini, agar warga Desa Gogok bisa kembali menikmati kehidupan yang nyaman tanpa harus dihantui oleh tumpukan sampah dan ribuan lalat di sekitar mereka.
TPA Gogok telah beroperasi sejak lama, namun awalnya warga tidak merasakan dampak buruk. Namun seiring waktu, tumpukan sampah yang semakin menggunung membuat bau busuk tercium setiap kali angin berembus dari arah TPA. Bau tersebut, ditambah dengan lalat yang beterbangan hingga masuk ke rumah-rumah, membuat warga semakin tak nyaman. Kondisi ini memicu kekhawatiran akan risiko kesehatan, terutama penyakit yang mungkin dibawa oleh lalat-lalat tersebut.
Suprapto, seorang warga lainnya juga merasa kecewa dengan situasi ini, disebutkan penempatan Desa Gogok sebagai tempat pengolahan sampah malah menjadi tempat pembuangan sampah.
"Dulu katanya tempat itu akan dijadikan tempat pengolahan sampah, tapi sekarang malah jadi tempat limbah. Kami warga desa hanya bisa menerima saja, padahal sangat kasihan melihat desa ini jadi tempat pembuangan sampah," tuturnya.
Menanggapi keluhan warga, Kepala Bidang Lingkungan Hidup Kabupaten Kepulauan Meranti, Dewi Atmidilla, ST, MM, menjelaskan bahwa TPA di Desa Gogok memang sudah tidak memadai untuk menampung volume sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Selatpanjang.
Dewi juga menjelaskan, setiap tahunnya jumlah kapasitas volume sampah masyarakat yang ada di Selatpanjang semakin bertambah, hal itu juga didasari dengan seiring bertambahnya jumlah penduduk. Terhitung, saat ini setiap harinya saja pihaknya harus mengangkut sampah tidak kurang 42 ton setiap harinya. Ditambah mindset masyarakat yang menganggap sampah tidak bernilai serta tidak diterapkannya pemilahan sampah dimulai dari rumah.
"Saat ini, TPA masih menggunakan pola open dumping, tanpa ada pengolahan awal. Setiap harinya, kami harus mengangkut lebih dari 42 ton sampah, dan volume ini terus bertambah seiring pertumbuhan penduduk," ungkap Dewi.
Dewi juga menjelaskan bahwa tumpukan sampah yang meluber hingga ke jalan disebabkan oleh rusaknya alat berat excavator yang biasa digunakan untuk menata sampah.
"Excavator yang ada di lokasi TPA rusak, sehingga sampah tidak bisa ditumpuk dengan baik. Kami sudah berupaya meminjam excavator dari dinas lain, tapi alat itu juga mengalami kerusakan,” jelasnya.
Dalam jangka panjang, Kabupaten Kepulauan Meranti sebenarnya sudah merencanakan pembuatan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang dilengkapi dengan mesin Refuse-Derived Fuel (RDF). Mesin RDF ini berfungsi untuk mengubah sampah menjadi bahan bakar alternatif. Namun, rencana tersebut belum bisa direalisasikan karena tingginya biaya pengadaan mesin.
"Kami sudah pernah mengajukan pengadaan mesin RDF besar tahun lalu, tapi dianggap terlalu mahal. Saat ini, kami sedang berupaya untuk mengajukan mesin RDF skala kecil agar bisa dianggarkan tahun depan. Semoga ini bisa menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah sampah di Kabupaten Kepulauan Meranti," tambah Dewi.
Penulis : Ali Imroen
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :