Festival Perang Air 2025 Resmi Dibuka: Sektor Pariwisata yang Memadukan Tradisi, Toleransi, dan Kebangkitan Ekonomi
SELATPANJANG - Kota Selatpanjang yang berjuluk kota Sagu kembali semarak dengan tradisi tahunan Festival Perang Air (Cian Cui) dalam rangka memeriahkan Tahun Baru Imlek 2576. Festival ini resmi dibuka oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti pada hari kedua pergelaran, Kamis (30/1/2025), di Jalan Diponegoro, Selatpanjang Kota.
Acara pembukaan dihadiri oleh Plt Bupati Kepulauan Meranti, AKBP (Purn) H. Asmar, Ketua DPRD Meranti H. Khalid Ali bersama anggota DPRD lainnya, Kepala Dinas Pariwisata Riau Roni Rakhmat, serta berbagai tokoh penting lainnya, termasuk Kabid Humas Polda Kepulauan Riau, Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad, penggagas Festival Cian Cui bersama penggagas lainnya yakni Raden Ulun Permadi Salis.
Selain itu juga tampak hadir, Waka Polda Riau, Brigjen Jossy Kusumo,S.H,M.Han, Kapolres Kepulauan Meranti, AKBP Kurnia Setyawan SIk MH, Wakil Bupati terpilih, Muzamil Baharuddin, instansi vertikal dan Forkopimda. Hadir pula tokoh masyarakat Tionghoa, pemuka agama, serta figur publik seperti presenter asal Riau, Vivien Anjadi Suwito, dan Bujang Riau, Nabil Manta Pratama.
Dalam sambutannya, Plt Bupati Asmar mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Tionghoa atas partisipasi mereka dalam memeriahkan festival ini. Ia juga menyampaikan apresiasi kepada Kombes Pandra atas kontribusinya dalam mengembangkan tradisi Perang Air hingga menjadi salah satu daya tarik wisata unggulan Meranti.
"Melalui kegiatan Festival Perang Air (Cian Cui) ini, mari kita jalin kekompakan, saling menghargai, dan menghormati antar suku, etnis, dan budaya guna mewujudkan Kabupaten Kepulauan Meranti yang aman dan damai," ujar Asmar.
Dikatakan Asmar, kegiatan Festival Perang Air (Cian Cui) Kepulauan Meranti Tahun 2025 ini merupakan salah satu dari kegiatan yang dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti melalui Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Kepulauan Meranti yang bekerjasama dengan seluruh masyarakat Tionghoa Kota Selatpanjang.
Festival ini tidak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga sebagai upaya nyata untuk mengangkat dan melestarikan budaya lokal agar semakin dikenal luas. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti berharap tradisi ini terus berkembang dan menjadi kebanggaan bersama.
"Kegiatan yang dikemas dalam bentuk Festival Perang di Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan upaya nyata untuk mendedahkan serta menempatkan tradisi ini sebagai salah satu ikon pariwisata dikota ini," ujar Asmar.
Asmar juga mengajak kepada segenap peserta Festival untuk bersama mengahargai serta melestarikan tradisi dan budaya ini sebagai wujud penghargaan keberagaman masyarakat yang ditakdirkan hidup berdampingan dalam warna dan corak suku yang beragam.
Selain itu, Asmar juga mengajak seluruh peserta untuk menjaga ketertiban dan keamanan selama festival berlangsung. Ia menegaskan bahwa keberhasilan acara ini terletak pada kesadaran bersama untuk menciptakan suasana yang harmonis dan menyenangkan.
"Mari kita dukung tradisi masyarakat berupa budaya lokal ini supaya menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa yang membanggakan dimasa hadapan," kata Asmar
Festival Perang Air yang berlangsung selama enam hari ini tidak hanya menarik wisatawan domestik, tetapi juga mancanegara. Dengan meningkatnya kunjungan wisata, festival ini juga memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, terutama di sektor perhotelan, kuliner, dan transportasi.
Sebagai salah satu festival yang telah menjadi ikon budaya di Kepulauan Meranti, Perang Air terus membuktikan bahwa tradisi lokal dapat menjadi magnet wisata yang memperkenalkan keunikan daerah ke tingkat nasional bahkan internasional.
Festival Perang Air (Cian Cui) di Selatpanjang bukan hanya menjadi ajang perayaan Tahun Baru Imlek, tetapi juga bukti nyata kebersamaan dan toleransi di Kepulauan Meranti. Plt Bupati Kepulauan Meranti, AKBP (Purn) H. Asmar, menegaskan bahwa masyarakat dari berbagai agama dan etnis bersatu padu dalam menyukseskan festival ini.
"Masyarakat, apa pun suku dan agamanya, tetap kompak dan mendukung festival ini sebagai bentuk toleransi yang sudah dijaga sejak lama," ujar Asmar.
Sementara itu Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Roni Rakhmat, menegaskan bahwa Festival Perang Air (Cian Cui) tidak hanya menjadi daya tarik wisata, tetapi juga memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat Kepulauan Meranti. Menurutnya, festival ini menjadi ajang promosi bagi Selatpanjang dan daerah sekitarnya, menarik lebih banyak wisatawan domestik maupun mancanegara.
"Festival ini tentunya bisa mendatangkan orang banyak. Tinggal bagaimana mengemasnya lebih rapi dan menarik, serta melakukan publikasi yang lebih luas. Momentum ini juga harus dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk meningkatkan perekonomian mereka," ujar Roni, yang pernah menjabat sebagai Pj Bupati Kepulauan Meranti.
Dengan semakin berkembangnya Festival Perang Air sebagai ikon wisata tahunan, diharapkan masyarakat dapat mengambil peluang dari tingginya arus wisatawan, baik melalui sektor kuliner, perhotelan, transportasi, maupun usaha lainnya. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam memajukan sektor pariwisata sebagai salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi daerah.
Festival Cian Cui telah menjadi simbol kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Tradisi ini awalnya berkembang sebagai bentuk ekspresi kegembiraan masyarakat setelah Hari Raya Idul Fitri, sebelum akhirnya diadopsi dan dikemas ulang oleh masyarakat Tionghoa sebagai bagian dari perayaan Imlek.
Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad, yang merupakan Kapolres pertama di Kepulauan Meranti sekaligus salah satu pencetus nama Cian Cui, turut menyampaikan apresiasinya terhadap keberlanjutan festival ini. Ia mengenang bagaimana pada tahun 2014, berbagai tokoh masyarakat dan paguyuban sepakat mengangkat Festival Perang Air sebagai kearifan lokal yang merepresentasikan kebhinekaan.
"Saya bersyukur karena festival ini terus dilestarikan dan kini diresmikan oleh Pemkab Kepulauan Meranti. Festival ini bukan hanya ajang hiburan, tetapi juga simbol persatuan antar suku, agama, dan ras di Kepulauan Meranti," katanya.
Kedatangan Pandra kali ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, bertepatan dengan perayaan Imlek, dimana ia diundang secara khusus sebagai tamu kehormatan.
Tak heran, meski sudah lama tidak bertugas di Selatpanjang, Pandra masih sering diundang untuk hadir setiap kali Imlek. Baginya, Kepulauan Meranti bukan sekadar tempat bertugas, melainkan rumah kedua yang penuh kenangan.
Selama tiga tahun bertugas di Kepulauan Meranti, Pandra mengaku memiliki kedekatan emosional yang kuat dengan daerah ini.
"Benar, waktu begitu cepat berlalu. Di mana pun saya bertugas, saya tetap ingat Meranti. Sudah lama saya meninggalkan kabupaten tercinta ini, tetapi kebahagiaan besar bersama tokoh agama, tokoh masyarakat, dan warga Meranti tidak akan pernah saya lupakan," ujar Pandra.
Selain menjadi wadah kebersamaan, Festival Perang Air juga memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Kombes Pandra menekankan bahwa festival ini berkontribusi terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat melalui sektor pariwisata.
"Saat saya menjabat sebagai Kapolres pertama di Meranti, salah satu perhatian saya adalah bagaimana menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sekaligus meningkatkan kesejahteraan mereka melalui potensi wisata. Kita lihat hari ini, hotel, restoran, dan transportasi seperti becak mendapatkan berkah ekonomi dari wisatawan yang datang," ujarnya.
Ia juga mengaitkan kemajuan ini dengan program Asta Cita yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto, yang menekankan pemanfaatan sumber daya dan potensi daerah untuk kemakmuran masyarakat.
Dengan berlangsungnya Festival Perang Air selama enam hari, Kepulauan Meranti kembali membuktikan bahwa tradisi lokal dapat menjadi magnet wisata yang memperkuat ekonomi, sekaligus merawat keharmonisan sosial di tengah keberagaman.
Festival ini menjadi daya tarik utama wisata, tidak hanya bagi masyarakat Riau, tetapi juga bagi wisatawan dari berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara. Setiap tahunnya, pengunjung dari Tiongkok, Malaysia, Singapura, hingga Australia turut meramaikan festival yang berlangsung selama enam hari berturut-turut ini.
Keunikan perayaan Imlek di Selatpanjang membedakannya dari kota lain di Indonesia. Tradisi saling siram air yang berlangsung dari pukul 16.00 WIB hingga 18.00 WIB ini menciptakan suasana penuh kegembiraan dan kebersamaan. Jalur Perang Air meliputi Jalan Kartini, Jalan Imam Bonjol, Jalan Tebingtinggi, dan Jalan Diponegoro, di mana masyarakat menunggu di tepi jalan dengan ember dan drum berisi air untuk menyiram peserta yang melintas.
Tidak hanya warga, peserta juga bersiap dengan pistol air, gayung, hingga ember untuk saling serang dalam suasana yang meriah. Becak motor dan sepeda motor menjadi kendaraan utama peserta, menambah keseruan festival ini.
Plt Bupati Kepulauan Meranti, AKBP (Purn) H. Asmar, bersama pejabat Forkopimda dan tokoh masyarakat, ikut larut dalam kegembiraan festival ini. Masyarakat yang ikut serta pun tidak melewatkan kesempatan untuk menyiram para pejabat hingga basah kuyup. Namun, bukannya marah, mereka justru tertawa dan berjoget bersama mengikuti irama musik yang diputar dan suasana meriah pun tercipta. Festival ini tidak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga simbol kebersamaan dan toleransi di Kepulauan Meranti.
Festival ini tak hanya menjadi hiburan bagi warga lokal, tetapi juga menjadi magnet wisatawan dari berbagai daerah dan negara. Ribuan wisatawan hadir untuk menyaksikan dan berpartisipasi dalam perang air yang unik ini. Selain memperkuat posisinya sebagai ikon wisata unggulan daerah yang mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat dengan perputaran uang yang mencapai puluhan miliar rupiah selama festival berlangsung.
Festival Perang Air atau lebih dikenal dengan Cian Cui oleh warga Tionghoa, juga menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti. Keunikan tradisi ini berhasil mencetak sejarah dengan meraih Rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) pada tahun 2019 sebagai perang air dengan jumlah peserta terbanyak di Indonesia.
Yang membuat festival ini istimewa, menurut panitia MURI, adalah perpaduan tradisi unik di Meranti yakni gabungan tradisi Muslim tempo dulu saat Idul Fitri dengan tradisi Cian Cui, simbol kebinekaan yang hidup di masyarakat Kepulauan Meranti.
Sebagai satu-satunya tradisi perang air di Indonesia, Festival Cian Cui menjadi ikon pariwisata yang menarik perhatian nasional maupun internasional. Sebagai perbandingan, festival serupa juga ada di Thailand, namun hanya berlangsung satu hari, sementara di Meranti digelar selama sepekan penuh.
Prestasi dan Pengakuan Nasional
Tidak hanya mencetak Rekor MURI, Festival Perang Air sebelumnya juga telah meraih Anugerah Pesona Indonesia 2018. Tradisi ini dinobatkan sebagai festival pariwisata terpopuler, mengungguli festival-festival besar lainnya seperti Dieng Culture Festival (Wonosobo), Dragon Festival (Yogyakarta), dan Festival 1001 Kuda Sandelwood (Sumba, NTT).
Saat ini Kota Selatpanjang menjadi pusat perhatian dengan lonjakan jumlah kunjungan wisatawan yang signifikan. Peningkatan ini terlihat jelas di Pelabuhan Tanjung Harapan, yang menjadi pintu masuk utama ke kota tersebut.
Berdasarkan data dari Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Selatpanjang, sebanyak 23.619 penumpang tercatat menggunakan layanan pelabuhan sejak H-7 pada 22 Januari hingga H+1 pada 30 Januari 2025. Dari jumlah tersebut, 8.436 penumpang berangkat meninggalkan Selatpanjang, sementara 15.183 penumpang tiba di kota tersebut melalui 454 keberangkatan kapal.
Ade Kurniawan, Petugas Lalu Lintas Angkutan Laut dan Kepelabuhan KSOP Selatpanjang, menjelaskan bahwa peningkatan ini jauh di atas rata-rata hari biasa, yang biasanya hanya mencapai 1.000 penumpang per hari.
"Artinya sejak beberapa hari yang lalu, jumlah kunjungan maupun keberangkatan dari pelabuhan naik signifikan jelang perayaan Imlek ini," ujar Ade pada Kamis. (30/1/2025) .
Puncak kedatangan penumpang terjadi pada 26 Januari 2025, dengan total 3.536 orang. Sebanyak 1.057 penumpang tercatat berangkat dari pelabuhan, sementara 2.479 orang tiba di Selatpanjang.
Ade juga menyebutkan bahwa jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, terjadi lonjakan penumpang yang signifikan.
"Bila dibandingkan tahun lalu menjelang Imlek, terjadi pertumbuhan penumpang yang datang sebesar 80 hingga 100 persen, sementara penumpang yang berangkat bertumbuh sekitar 60 hingga 80 persen," jelasnya.
Peningkatan jumlah pengunjung ini memberikan dampak positif pada sektor ekonomi lokal, mulai dari penginapan, transportasi, hingga kuliner. Perayaan Imlek di Selatpanjang tidak hanya menjadi momen budaya yang meriah, tetapi juga penggerak roda perekonomian masyarakat setempat.
Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kepulauan Meranti, Eri Suhairi, mengungkapkan bahwa Festival Perang Air atau yang dikenal dengan Cian Cui telah menjadi momen istimewa bagi warga Tionghoa asal Meranti untuk kembali ke kampung halaman. Tradisi ini bukan hanya menjadi ajang merayakan kebersamaan, tetapi juga menarik perhatian wisatawan dari berbagai penjuru dunia.
Menurut catatan Disporapar, setiap perayaan Imlek yang dibarengi dengan Festival Perang Air, puluhan ribu wisatawan dari negara seperti Tiongkok, Malaysia, Singapura, Australia, dan berbagai daerah di Indonesia datang ke Kota Selatpanjang.
Eri Suhairi menegaskan, warga Kepulauan Meranti patut berbangga karena festival ini telah menjadikan daerah mereka sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia.
"Festival Perang Air ini sudah dikenal sejak dahulu oleh masyarakat Meranti. Tradisi ini awalnya digunakan untuk mengekspresikan kegembiraan saat Idul Fitri melalui siram-siraman air, dan kini masyarakat Tionghoa kembali menyemarakkan tradisi tersebut sebagai Cian Cui bertepatan dengan perayaan Imlek," jelasnya.
Eri juga menekankan bahwa Festival Perang Air tidak terkait dengan ritual keagamaan, melainkan lahir dari kearifan lokal yang diwariskan sejak puluhan tahun lalu. Tradisi ini kemudian dikemas secara unik oleh masyarakat Tionghoa, menjadikannya sebuah festival yang ikonik.
Selain menjadi ajang budaya, Festival Perang Air juga memberikan dampak ekonomi yang luar biasa bagi masyarakat setempat. Eri Suhairi mengungkapkan bahwa perputaran uang selama festival sangat tinggi.
Disebutkan, jika seorang wisatawan membelanjakan uangnya sebesar Rp 3 juta, maka dengan jumlah wisatawan dan warga Tionghoa yang balik kampung tahun ini sebanyak 15.183 orang, maka perputaran uang mencapai Rp 45.449.000.000.
Penulis : Ali Imroen
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :