Home / Otonomi | ||||||
Menjaga Benteng Hijau, Warisan Bandar Bakau Minggu, 01/09/2024 | 12:09 | ||||||
Kawasan Hutan Mangrove Edu-Ekowisata Bandar Bakau di Kota Dumai seluas 24 hektare (foto/Sc Youtube Bandarbakau) Pemulihan dan pemanfaatan ekosistem mangrove berbasis masyarakat, menggerakkan ekonomi lokal. Bandar Bakau Dumai bukti rehabilitasi mangrove, menyelamatkan hidup masyarakat pesisir. DUMAI - “Lihat itu ada ular,” tunjuk pemuda berkaos oblong pada satu pohon di depannya. Sekilas seekor ular itu seperti ranting. Tubuhnya hitam dan melingkar di batang bakau. Reptil yang dilihat pemuda bernama Fiki Abdurahman itu jenis ular beludak, sering disebut ular berbisa pantai. Tak jauh dari sana, tampak seekor kepiting kecil mengendap-ngendap masuk ke air. Di sekitarnya ada tembakul atau gelodok. Ikan yang matanya mirip kodok itu berenang santai, lalu nangkring di akar bakau yang keluar dari endapan lumpur. “Di hutan mangrove ini kami habiskan masa kecil dengan mencari ikan dan kerang sepetang. Di sini sumber kehidupan,” ujar Fiki mengenang, Senin (26/8/2024). Ia merupakan Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) di Kelompok Tani Hutan (KTH) Edu-Ekowisata Bandar Bakau Dumai. (Fiki Abdurahman, Ketua Kelompok Usaha Bersama di KTH Bandar Bakau Dumai/foto-riki) Bandar Bakau Dumai merupakan hutan mangrove yang ada di Jalan Nelayan Laut, Kelurahan Pangkalan Sesai, Kecamatan Dumai Barat, Kota Dumai, Riau. Cuma satu jam dari pusat kota. Bandar Bakau ini sudah jadi pelindung aneka flora dan fauna. Serta pusat edukasi, riset, dan rekreasi alam. Kawasan seluas 24 hektare ini tempat ragam mangrove hidup. Seperti rhizophora apiculata atau bakau minyak, mangrove pedada, mangrove api-api, dan banyak lainnya. Suasananya asri, dengan pohon mangrove menjulang tinggi. Kicau burung bersahut-sahutan, membuat hati siapa pun tenang. Daun-daun hijau saling ‘mengelus’ ditiup angin. Tempat ini cocok bagi mereka yang ingin lari sejenak dari hiruk pikuk kota dan sengatan matahari di Kota Minyak. Fiki bersama pemuda lainnya mengelola coffee shop bernama Titik Reda. Ini unit usaha KUB Bandar Bakau Dumai, bersama dengan pangkas rambut, Resto Redam Pilu, dan guest house yang letaknya di tepi pantai. Di guest house atau homestay tersebut sudah tersedia listrik. Ada jaring di atas perairan yang sangat instagramable. Pengunjung bisa berfoto dengan latar kapal-kapal yang mengapung di tengah Selat Rupat. Siapa kira ternyata semua itu dibangun secara swadaya. Sebagian besar bangunan berasal dari bahan daur ulang. “Kami membuatnya dengan modal seadanya. Kami beli kayu dari perahu bekas, palka (ruang muat) kapal, lalu kami olah jadi seperti sekarang,” ujarnya sambil menunjukkan dinding Coffee Shop Titik Reda yang dari kapal bekas. Sebagian bahan bangunan juga ada di dapat dari kayu hanyut. Jika air surut pasang, biasanya ada kayu-kayu yang tertinggal. Itu yang kami pakai. “Bisa dibilang 80 persen recycle (daur ulang) lah. Tidak ada merusak apalagi menebang dari bakau di sini,” ujarnya. Dari sejumlah unit usaha ini sudah mendatangkan cuan yang lumayan. Pada hari biasa, ia mengatakan bisa memperoleh Rp8 juta hingga Rp10 juta per bulan. “Itu pendapatan bersihnya,” ujar Fiki. Namun bagi Fiki cerita di Bandar Bakau lebih dari sekedar tentang potensi ekonomi. Baginya Hutan Mangrove ini benteng alam Kota Dumai dari banjir dan rob atau pasang keling. “Yang saya rasakan banjir rob makin di luar nalar, sudah sampai kota. Makanya saya tergerak untuk ikut merawat bakau, mempertahankan benteng alam. Harus ambil bagian untuk bisa menjaga warisan ini. Kami rata-rata finansial menengah ke bawah, jadi untuk menjaga ini hanya bisa dengan pikiran dan tenaga yang bisa kita luangkan,” katanya. Fiki sadar betul, sikapnya itu akan dianggap aneh. “Apo yang diko buat di sano tu (apa yang kamu buat di sana)?” ujar Fiki menirukan ucapan orang tuanya. Mereka risau melihat Fiki seolah sibuk tak menentu di Bandar Bakau. Lambat laun, dengan berbagai hasil apalagi bisa menggerakkan ekonomi dan mengajak anak-anak muda sekitar, orang tuanya tak lagi berkeluh kesah. “Karena dari hati yang menggerakkan, tidak ada keterpaksaan. Kawan-kawan juga sama. Itu yang membuat bisa sampai di titik sekarang ini,” ujarnya. (Pengunjung berjalan di pedestrian yang dibangun PT PHR sambil menikmati suasana hutan mangrove/foto-riki) Semangat Fiki dan belasan pemuda itu, agaknya tertular Darwis Mohd Saleh. Tuk Darwis, begitu ia akrab disapa, merupakan Ketua KTH Bandar Bakau Dumai. KUB, Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), dan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) berada dalam naungan KTH. Total ada 60 orang yang terlibat dalam perkumpulan ini. Tuk Darwis menceritakan kondisi sekarang bertolak belakang dengan situasi 23 tahun lalu. Ia masih ingat sakit hatinya ketika melihat hutan bakau di pantai Dumai dibabat habis. Hutan mangrove makin kritis, habis dikikis industri. Padahal baginya hutan bakau ini laman bermain, leluhur orang pesisir dahulunya. Apalagi tersimpan Legenda Putri Tujuh. Cerita tentang buah bakau menimpa pasukan Pangeran Empang Kuala saat bertempur melawan pasukan Cik Sima, Ratu Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Dongeng ini dipercayai menjadi asal muasal Kota Dumai. Dari kesadaran itu Darwis bersama sebagian masyarakat serius bergerak melakukan rehabilitasi hutan mangrove di tahun 2001. Tak mudah, tapi ia tak menyerah. Perlahan namun pasti, dari 2,6 hektare kini kawasan mangrove bertambah menjadi 24 hektare. Sempat menjadi primadona wisata lokal, Bandar Bakau kemudian ‘mati’ akibat Pandemi COVID-19 tahun 2019. Masa itu, semua aktivitas manusia dibatasi. Semua kegiatan banyak dilakukan dari rumah. Namun dalam kesunyian Bandar Bakau waktu itu, ada Darwis ‘memulung’ sisa kayu yang terbawa pasang keling. Kayu dipakai untuk membetulkan setiap titian atau jembatan yang ia buat sebelumnya. Kadang ia rela merogoh kocek untuk membeli pompong bekas (kapal kayu) untuk mengganti papan yang lapuk. Berharap suatu saat, semua akan pulih seperti sedia kala. Hampir saja Tuk Darwis kehilangan harapan. Ia sadar, Bandar Bakau harus dikelola dengan baik. Tapi ia dan belasan pemuda yang menjaga Bandar Bakau terbatas punya ilmunya. Tuk Darwis sempat enggan mengembangkan Bandar Bakau sebagai destinasi wisata. Menurutnya, pariwisata itu mendatangkan masalah baru, yakni sampah plastik. Darwis pun dilema. (ki-ka: Fernando dari RSF bersama Priawansyah, perwakilan PHR WK Rokan dan Tuk Darwis Ketua KTH Bandar Bakau/foto-riki) Untungnya, Tuk Darwis dipertemukan dengan Pertamina Hulu Rokan (PHR) pada akhir tahun 2022. Dalam diskusinya, Tuk Darwis mengusulkan ke PHR untuk pengembangan kawasan konservasi mangrove secara profesional. Gayung pun bersambut. PHR memang punya program CSR di bidang lingkungan, selain pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Program TJSL merupakan wujud komitmen PHR dalam berkontribusi positif untuk masyarakat yang ada di wilayah kerjanya. Sesuai permintaan Tuk Darwis dan masyarakat lainnya, PHR Rimba Satwa Foundation (RSF) sebagai mitra pelaksana untuk ikut memanage Bandar Bakau. PHR juga membangun berbagai fasilitas pendukung, jalur bakau yang semula dari titian dibangun dari beton sepanjang 300 meter dengan lebar sekitar 1,5 meter. Serta juga ada panggung teater dan infrastruktur lainnya. “Kehadiran PHR menguntungkan kami. Istilahnya saya dapat rezeki pukal, artinya beso (rezeki besar). Contoh, kami butuh polibag untuk penyemaian bibit, hubungi PHR, langsung disiapkan,” ujar Kader Konservasi Terbaik Nasional tahun 2014 itu. Berkat implementasi dari program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) PHR, kini Bandar Bakau semakin populer, bukan hanya lokal namun global. Membuat makin ramai orang berkunjung, baik anak sekolah, wisatawan, hingga peneliti luar negeri. Berdampak positif pada geliat ekonomi lokal. Menggerakkan Ekonomi Lokal Kolaborasi ini sudah berjalan hampir 1,5 tahun. Setidaknya ada 3 ribu hingga 4 ribuan pengunjung, baik yang anak sekolah, rekreasi, dan peneliti tiap bulannya. Darwis menaksir dari 100 orang yang datang saja bisa memberikan Rp10 juta ke Bandar Bakau. Penghasilan itu didapat dari biaya beli bibit, kuliner, bahkan biaya penginap. Ramainya pelancong lokal maupun mancanegara menghidupkan ekonomi lokal. Panganan hingga karya batik yang dibuat UMKM KTH Bandar Bakau laris manis. “Saya kalau sama bule (wisatawan mancanegara) Sup Ikan Lomek bisa saya jual Rp60 ribu semangkok, makan sambil menikmati suasana alam. Juga dari satu buah kedabu (pedada), saya pernah bikin jadi sirup, bisa untuk enam gelas. Satu gelasnya seharga Rp5 ribu, bisa dihitung satu buah pedada bisa menghasilkan Rp30 ribu,” ujarnya. (Homestay dibangun secara swadaya di pinggiran hutan mangrove/foto-riki) Kemudian setiap bakau yang dibibitkan, sering dipesan perusahaan untuk program restorasi kawasan mangrove. Sebagian cuan yang dihasilkan itu, dikembalikan lagi untuk operasional penggelolaan hutan bakau. “Dari bibit mangrove setidaknya ada laba Rp70 juta dalam setahun. Semua di dalam hutan ini bernilai ekonomi. Sayangnya kita sudah kehabisan nipah. Tapi intinya menyelamatkan Bandar Bakau ini bukan soal uang. Tapi menjaga laman bermain dan kehidupan orang pesisir,” kata Darwis. Dengan luas kawasan mangrove 24 hektare, masih banyak yang belum dieksplorasi. Darwis bercita-cita ada pusat riset di Bandar Bakau Dumai. Seperti Pusat Penelitian Mangrove Internasional pada kawasan mangrove Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Bali. Seperti yang dikata Tuk Darwis itu, Git Fernando dari Tim RSF menjelaskan hutan bakau bukan sekedar jadi penahan badai, ombak, pencegah abrasi, dan pengendali banjir semata. Menjaga kawasan mangrove bisa jadi penggerak ekonomi lokal. Ramah lingkungan, tanpa harus mengeksploitasi berlebihan. Dengan harapan bisa mewujudkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. “Salah satu tujuan, meningkatkan ekonomi masyarakat. Seperti pembuatan infrastruktur dasar ini, untuk mempermudah pengunjung menikmati Bandar Bakau. Kemudian kita bangga juga, ternyata dampaknyya menghidupkan perekonomian,” papar Git. Selain itu, peningkatan karbon dioksida (CO2) di udara bisa menyebabkan efek rumah kaca yang berkontribusi pada pemanasan global. Emisi karbon dioksida paling banyak dihasilkan salah satunya dari kendaraan bermotor. Dari sejumlah hasil penelitian, mangrove diketahui menyerap CO2 empat kali lebih banyak dari hutan tropis. Sehingga dengan semakin luasnya kawasan mangrove, akan mampu mengerem laju pemanasan global. Maka tak heran, kini Bandar Bakau menjadi rumah bagi berbagai jenis burung, khususnya Raja Udang. Keberadaan burung Raja Udang menandakan sumber makananya berlimpah. Terdapat juga primata endemik seperti lutung kokah, lutung kelabu, dan beruk. Terbaru, untuk mendorong pengelolaan konservasi mangrove, RSF bersama KTH melakukan studi banding ke Batu Bara Mangrove Park di Desa Parupuk, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara (Sumut) akhir Juli 2024. Batu Bara Mangrove Park dipilih karena dianggap sukses mengelola wisata alam dengan modernitas. Tentang Hutan Mangrove yang bisa banyak menyerap karbon di atmosfer dengan efisien, juga disampaikan Priawansyah, Analyst Social Performance PHR WK Rokan. “Saya ada mendapat mini riset, jadi 24 hektare Bandar Bakau ini, sama seperti reduksi 800 sampai 1.200 ton karbon dioksida per tahun. Ekuivalennya 500 sampai 800 emisi karbon yang dihasilkan mobil per tahun. Artinya kalau kita potong habis semua mangrove di Bandar Bakau, sama dengan kita hisap karbon dioksida dari ratusan mobil. Ini racun yang sangat berbahaya bagi semua manusia dan hewan,” ujarnya. Maka itu Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) PHR di Bandar Bakau Dumai ini berfokus pada bidang pemberdayaan masyarakat. Dengan harapan masyarakat bisa mengelola dan rehabilitasi mangrove sesuai fungsi dan juga bernilai tambah untuk perekonomian masyarakat sekitar. “PHR punya tanggung jawab besar untuk restorasi hutan mangrove, agar tidak punah. Di situ PHR melihat semangat KTH Bandar Bakau dalam kepedulian menyelamatkan mangrove harus disupport. Untuk pengembangan hutan mangrove berkelanjutan, bukan hanya untuk Dumai, tapi dunia. PHR juga membina anak-anak muda, bagaimana cara mengelola eco eduwisata dan bidang lainnya,” sebut Priawansyah.
(Pengunjung juga bisa ikut menanam langsung bibit mangrove yang sudah disediakan KTH Bandar Bakau/foto-riki) Bandar Bakau Dumai untuk Dunia Jam menunjukkan pukul 12.50 WIB saat saya beranjak menuju bus rombongan dari Kota Pekanbaru. Di luar Bandar Bakau, panas menyengat dan bisingnya deru laju kendaraan langsung menyambut kami. Tak terbayang 20 tahun lalu kawasan ini hanya terpampang endapan lumpur, bekas penebangan liar. Rehabilitasi hutan mangrove menjadi perhatian serius pemerintah pusat sejak lama, di tengah isu perubahan iklim dan pemanasan global. Peta Mangrove Nasional 2021, mencatat luas lahan mangrove di Indonesia saat ini adalah 3.364.080 hektare atau 20 persen dari total hutan bakau di dunia. Sayangnya, banyak lahan mangrove di Indonesia dalam kondisi kritis. Makanya Presiden Jokowi menargetkan 600 ribu hektare hutan mangrove direhabilitasi hingga akhir 2024. Itu disampaikan Jokowi saat meluncurkan Program Mangroves for Coastal Resilience (M4CR) serta World Mangrove Center di Teluk Balikpapan, seperti dilihat dari youtube resmi Kementerian LHK yang tayang 11 Juni 2022. Sehingga Bandar Bakau Dumai menjadi bukti keseimbangan ekosistem pesisir bisa dipulihkan. Mencegah degradasi hutan mangrove yang membawa bencana abrasi hingga rob yang menelan daratan kian parah. Uluran tangan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) pada Bandar Bakau, turut membantu pemerintah dalam mencapai target emisi nol bersih atau net zero emission (NZE) tahun 2060. Ditambah lagi Pemerintah Kota Dumai telah meluncurkan Kurikulum Gambut dan Mangrove yang diterapkan pada tingkat SD dan SMP se-Kota Dumai. Berharap akan menumbuhkan empati generasi muda pada kondisi lingkungan mangrove. (Hamparan mangrove Bandar Bakau Dumai berbatasan dengan perairan Selat Rupat/foto-youtube bandarbakau) Jadi teringat pesan Tuk Darwis sebelum kami pulang. Lelaki dengan rambut penuh uban itu mengajak generasi muda “viralkan” Bandar Bakau. Bukan hanya dari sisi lingkungan namun juga budaya dan sosial. “Saya ini generasi mesin tik. Beda dengan zaman sekarang dengan hape (gawai), buat konten kreatif. Viralkan ceritakan Legenda Putri Tujuh, tunjukkan keindahan bakau, lestarikan budaya leluhur orang pesisir,” pesannya. Tuk Darwis ingin mewariskan semangat cinta alam ke anak muda. Sebab generasi muda dengan kreativitasnya diyakini mampu membawa dampak positif lebih luas lagi untuk lingkungan. Sejatinya manusia telah banyak berutang budi kepada alam. Dengan kita menjaga alam, maka alam akan menjaga kita. Merawat mangrove yang lestari, menjaga masa depan anak-cucu nanti. Penulis: Riki Ariyanto |
||||||
|
HOME | OTONOMI | POLITIK | EKONOMI | BRKS | OTOMOTIF| HUKRIM | OLAHRAGA | HALLO INDONESIA | INTERNASIONAL | REDAKSI | FULL SITE |
Copyright © 2010-2024. All Rights Reserved |