Oleh: Andy Indrayanto
"Jika saya harus memilih antara pemerintahan tanpa suratkabar atau suratkabar tanpa pemerintahan, maka saya tidak akan berpikir panjang untuk memilih yang terakhir," Presiden AS ke 3, Thomas Jefferson (1801-1809).
REFORMASI 1998 menjadi titik balik bagi masyarakat pers dari kukungan rezim Orde Baru. Titik balik ini memunculkan trend kronologis perubahan media di Indonesia yang akhirnya bermuara pada paralelisme politik sekarang ini, yaitu: konglomerasi, konsentrasi dan konvergensi, yang pada akhirnya melahirkan jaringan-jaringan media guna kepentingan pemilik modal dan penguasa.
Pasca-reformasi, fenomena pemanfaatan media untuk mendongkrak popularitas mulai marak sejak Pemilu 1999 dan semakin menguat di Pemilu 2019. Karena itu wajar jika tiap perhelatan pemilu, memberi rezeki tersendiri bagi para pemilik media.
Ini bisa dipahami, karena media dimana pun memiliki kekuatan yang efektif dalam melakukan pencitraan dan reproduksi pencitraan politik. Padahal dalam sejarahnya, media merupakan salah satu elemen demokrasi. Artinya, keberhasilan demokrasi ditentukan oleh kualitas pemberitaan media, namun salah satu kendala yang terjadi dalam mewujudkan pemberitaan berkualitas itu adalah kepemilikan media yang terpusat di segelintir orang, seperti di Indonesia.
Akibatnya, media cenderung mengabdi pada kepentingan partai politik dan pemiliknya, daripada kepada publik yang menjadi dasar legitimasinya. Dan dukungan media terhadap kandidat atau kekuatan politik ini selalu terulang dalam pemilu.
Secara hukum memang tidak ada hambatan bagi media cetak dalam menyatakan dukungan terbuka pada kandidat atau kekuatan politik tertentu, karena dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers juga tidak ada satu pun pasal yang mengekang pemihakan politik oleh mass media.
Namun dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan demokrasi, media tidak saja dianggap sebagai tempat untuk mendapatkan informasi tetapi juga merupakan alat kontrol dan perjuangan.
Sebagai pilar demokrasi maka sudah seharusnya media dapat menjalankan fungsi untuk melindungi masyarakat dari pemberitaan yang tidak obyektif, tidak berimbang bahkan berita hoax selama masa pemilihan umum berlangsung.
Dalam seminar "Pers dan Pemilu Serentak 2024" di Jakarta, pada akhir Januari 2023, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengatakan jika potensi keriuhan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 adalah sebuah keniscayaan. Menjelang Pemilu 2024, media akan menjalankan fungsinya sebagai pengawas tahapan pemilu, baik yang diatur peraturan perundang-undangan maupun yang ada di luar regulasi.
Selain itu, pers juga memiliki mandat meningkatkan pemahaman intelektual publik dalam isu-isu kepemiluan. "Pers bukan hanya menjadi watchdog, tetapi juga harus menghadirkan dialog-dialog yang bisa membuat publik memberi penilaian mana yang benar dan yang salah," kata Ninik seperti disitir kompas.id, 26 Januari 2023.
Dalam seminar itu juga, Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra menekankan, pemilu serentak tahun 2024 menjadi momentum yang sangat penting bagi publik dan pers membuktikan kesucian profesinya.
Ini artinya bahwa pers harus kritis, bukan menjadi pembela kepentingan penguasa atau pemilik modal. Jangan sampai terulang kembali polarisasi media di Pemilu 2024 mendatang, seperti di Pemilu sebelumnya.
Pers dan media harus kembali ke khittah yakni sebagai media informasi aktual, akurat dan berimbang serta hiburan, mendidik publik dan social control. Pers tak hanya sebagai "anjing-anjing penjaga" yang kritis namun juga menjaga nalar publik sehingga demokrasi di Indonesia berlangsung dengan kondusif. Semoga! (*)
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :