3 Cara Bungkam Politik Identitas dan Cegah Polarisasi Sosial di 2024
Jumat, 09 September 2022 - 07:54:32 WIB
JAKARTA - Banyak pihak mengkhawatirkan terulangnya situasi Pilpres 2019 pada 2024. Polarisasi pada masyarakat begitu kuatnya, bahkan sisanya masih terasa hingga hari ini. Kendati bukan penyebab tunggal, politisasi agama dan praktik politik identitas dituding sebagai biang polarisasi sosial itu. Bagaimana agar situasi serupa tak terulangdi pada Pilpres 2024 ?
”Kita tentu saja sangat risih dengan pendapat politisi yang merasa tidak mempermasalahkan kalau kontestasi elektoral Pilpres 2024 nanti hanya diikuti 2 (dua) kandidat capres-cawapres. Saya merasa mereka adalah politisi yang tidak mau belajar dari fakta politik masa lalu,” ujar Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (8/9/2022).
Berdasarkan data Survei Voxpol Center Research and Consulting pada Juli 2022, 40,6 persen preferensi masyarakat menginginkan Pilpres 2024 sebaiknya diikuti lebih dari dua pasang capres-cawapres. Sebanyak 41,9 persen dari angka tersebut beralasan dua calon lebih memungkinkan rakyat mendapatkan pilihan pemimpin alternatif, sebesar 41,1 persen agar tidak terjadi konflik sosial dan perpecahan, sebesar 9,2 persen agar memberi kesempatan kepada para pemimpin muda, sebesar 7,2 persen agar tidak terjadi eksploitasi politik identitas dan tidak tahu tidak jawab sebesar 0,6 persen, seperti yang dilansir dari sindonews.
Menurut Pangi, polarisasi isu, politik identitas telah menyebabkan kerusakan yang nyata merobek tenun kebangsaan pada Pilpres 2019. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang kuat, tidak boleh ada lagi tempat atau ruang untuk membuka “kotak pandora” politik identitas dengan polarisasi isu yang merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
”Karena kerusakannya begitu nyata dan dampaknya terlalu besar, polarisasi dan politik identitas tidak boleh terulang kembali,” kata dia.
Ada setidaknya ada tiga cara yang menurut Pangi harus dilakukan untuk meredam “politik identitas” dan “keterbelahan publik” dalam kontestasi elektotal Pilpres 2024. Pertama, minimal harus ada 3 pasang calon presiden, sehingga ada pemecah gelombang agar tidak terulang kembali kontestasi “rematch” Pilpres 2014 dan 2019 dengan kekuatan “head to head” (bipolar) bertumpu pada dua kutub pasangan calon presiden.
Kedua, harus ada penegakan hukum yang adil “tanpa diskriminatif” terhadap para buzzer politik, tim sukses, relawan maupun calon presiden apabila terbukti mengunakan/mengoreng politik identitas dijadikan sebagai komoditas politik, mesti ada sangsi yang keras dan tegas berupa pidana dan pemotogan masa waktu kampanye agar ada efek jera.
”Ketiga; harus ada “konsensus” dan komitmen bersama untuk “tidak” lagi mengunakan “narasi politik identitas” dan isu-isu “SARA” yang jelas merusak tatanan simpul kehidupan berbangsa dan bernegara,” tutur Pangi. *
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :