"Kalau sepatu tidak dilepas, tidak bisa jalan karena lengket oleh lumpur tanah liat. Tidak ada base ataupun semenisasi, hanya tanah liat yang berlumpur," ujarnya.
Tak jarang mereka saling bercanda untuk menghilangkan lelah, sesekali mereka berpegangan tangan satu sama lain agar tidak tergelincir akibat jalan licin dan tidak tercebur ke dalam sungai ketika melalui jembatan yang rapuh dan berlobang.
"Di dalam perjalanan, kami bersama guru lainnya selalu bercanda, ini sengaja dilakukan untuk mengusir rasa penat kami," cerita Suwardi.
Sekolah Dasar Negeri 10 Lukun yang terletak di Dusun Keridi Desa Batin Suir, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti ini hanya bisa dilalui jalur sungai, ini merupakan sekolah satu-satunya yang ada di desa tersebut.
Perjuangan kepala sekolah yang sudah mengabdi sejak tahun 1996 ini tidak hanya saat menuju sekolah, lahan seluas 3240 m2 tempat sekolah ini berdiri pun dibelinya seharga Rp250 ribu pada tahun 2000 silam.
Suardi mengungkapkan, sebelum mengajar di SDN 10 Lukun, Desa Batinsuir, ia mengajar di sekolah SDN 6 Desa Lukun, Kecamatan Tebingtinggi Timur.
Namun, saat itu ia mendengar jika desa tetangga, Desa Batinsuir tidak memiliki guru dan sekolah untuk mengajar membaca, menulis dan menghitung bagi anak-anak Suku Akit.
"Saat saya mengajar dulu, tanah ini sengaja saya beli untuk dibangun sekolah, agar anak-anak di sini bisa bersekolah. Pembangunannya kami ajukan proposal pada zaman Bengkalis tahun 2002, kalau tidak ada kami di sini siapa lagi, tidak ada yang sanggup bertahan mengajar di sini," ungkap Suardi.
Saat ini kondisi sekolah sangat memprihatinkan, dimana lantai tempat belajar mengajar itu sudah dalam kondisi retak. Ruangan kelas sebanyak 3 ruangan dibagi dua, dimana hanya ada rak buku sebagai tempat pemisah. Di sekolah ini hanya terdapat 52 orang siswa, mayoritas merupakan anak-anak dari suku Akit dimana 27 siswa laki laki dan 25 siswa perempuan.
Ia menuturkan, kebanyakan orangtua suku Akit menolak anaknya sekolah lantaran anaknya dibutuhkan keluarga untuk mencari nafkah dan sebagian lagi mereka tidak menganggap sekolah adalah kebutuhan untuk hidup.
"Banyak yang tidak mau meski gratis, tapi setelah tiga hari keliling dusun saya dapat murid juga," ujar Suardi.
Awalnya kata Suardi, memiliki 82 murid anak suku Akit dan gubuk berukuran 5 x 10 meter sebagai sekolah.
"Saat itu hanya saya yang mengajar di situ. Kalau tidak salah awal berdiri sekolah itu pada tahun 1995, setahun saya terima SK PNS sebagi guru," kenang Suardi.
Hampir 5 tahun Suardi mengajar sendiri di sekolah itu.
Ia sempat dibantu beberapa kali oleh sejumlah guru, namun tidak ada yang bertahan mengajar di daerah pedalaman tersebut.
"Beberapa tahun kemudian saya dibantu oleh Bu Desi Susanti dan Nuraini. Saya tarik menjadi guru disana. Mereka mau, meskipun saat itu gaji per bulan hanya Rp 350 ribu," ujarnya.
Saat ini kata Suardi, ia sudah memiliki 7 guru untuk mengajar anak-anak Suku Akit di SDN 10 Lukun, Desa Batinsuir.
"Alhamdulilah, empat guru saya sudah masuk sebagai honor daerah. Sedangkan yang lainnya masih honor sekolah," ujar Suardi.
Suardi juga merasa bersyukur, sebab saat ini sekolah yang ia kelola sudah menyandang status sekolah negeri.
Para guru sekolah dasar di daerah pedalaman tersebut tidak memerlukan kurikulum saat proses belajar dan mengajar anak-anak pedalaman Suku Akit di sekolahnya.
Sebab, sistem pendidikan terhadap warga pedalaman harus disesuaikan dengan kearifan lokal di sana.
"Sistem pendidikan berdasarkan kurikulum tidak bisa diterapkan di sana. Kalau diterapkan, muridnya tidak ada yang datang," ujar Kepala SDN 10 Lukun, Desa Bathinsuir, Suardi.
Anak-anak Suku Akit di sana bisa menghitung, membaca dan menulis saja, Suardi sudah bersyukur.
Suardi menuturkan mengajar murid-murid dari Suku Akit tidak dapat disamakan dengan mengajar murid pada umumnya.
Sebab, warga pedalaman masih beranggapan tidak memerlukan pengetahuan seperti itu.
"Mereka hanya membutuhkan pengetahuan praktis yang berguna untuk kelangsungan hidup saja. Sebab itu bisa saja mereka membaca, menulis dan berhitung sudah cukup bagi mereka," ujarnya.
Kendati demikan, setiap kali Ujian Nasional digelar, murid-muridnya lulus semuanya.
"Sejak sekolah ini berdiri anak-anak peserta UN lulus semua, namun hanya beberapa saja yang sampai ke kelas VI. Sebab, sebagian sudah berhenti karena malu sekolah karena sudah dewasa," ujar Suardi.
Suardi menjelaskan saat ini sekolahnya memiliki 52 murid, mayoritas murid-muridnya adalah anak suku Akit.
Kendati demikian, ia tidak membeda-bedakan murid dari suku Akit dengan murid lainnya.
"Meskipun tidak ada dibedakan, namun ada perlakuan khusus bagi anak-anak Akit. Sebab, murid dari Suku Akit, sekolah kalau sedang ingin saja. Kalau bosan mereka libur dulu dengan alasan membantu orangtua cari kayu atau ke kebun," ujar Suardi.
Ia juga tidak bisa menerapkan kedisiplinan dengan tegas bagi murid-muridnya, sebab ketegasan itu akan mengakibatkan anak-anak Suku Akit takut untuk pergi ke sekolah.
"Kalau tegas, mereka tidak ada yang datang dan tidak mau lagi sekolah," ujarnya.
Semenjak kabupaten ini berdiri baru pada tahun 2016 sekolah ini mendapatkan bantuan berupa perumahan untuk guru, sebelumnya mereka hanya membeli peralatan sekolah menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan CSR sari PT NSP.
Salah seorang guru yang mengabdi, Lismayani mengatakan yang membuat dirinya bertahan memberikan pendidikan bagi anak anak pedalaman disana bisa mengecap pendidikan.
"Yang membuat saya bertahan, saya kasihan dengan anak anak di sana. Walaupun penat, tapi mereka lah penghibur bagi saya, lagi pun hanya ada satu sekolah disana," kata Lismayani.
Penulis : Ali ImroenEditor : Yusni Fatimah