www.halloriau.com


BREAKING NEWS :
Kasus Penyakit Mulut dan Kuku di Riau Melonjak, Peternak Diminta Waspada
Otonomi
Pekanbaru | Dumai | Inhu | Kuansing | Inhil | Kampar | Pelalawan | Rohul | Bengkalis | Siak | Rohil | Meranti
 


Opini
Gen Old Vs Gen Z dan Mental Health
Kamis, 05 Januari 2023 - 18:04:33 WIB

Generasi Z (Gen Z) adalah manusia yang lahir antara tahun 1999-2012. Mereka merupakan generasi pertama yang dibesarkan sepenuhnya oleh teknologi seperti internet dan smartphone.

Generasi ini tumbuh bersama dunia yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Gen Z yang terpapar teknologi sejak usia muda mampu menguasai teknologi dan membawanya ke dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kecanggihan teknologi saat ini, mereka dapat mengakses apa saja dengan cepat.

Keterbukaan Gen Z terhadap teknologi berdampak terhadap cara mereka memahami masalah kesehatan mental. Mereka cenderung lebih terbuka soal kesehatan dan membentuk pemahaman akan pentingnya masalah kesehatan mental.

Kesadaran Gen Z terhadap kesehatan mental berdampak signifikan pada penderita gangguan kesehatan mental, ketika orang-orang membicarakan perjuangan kesehatan mental mereka di internet.

Orang-orang yang merasakan hal yang sama dengan mudah menceritakan perjuangan kesehatan mental mereka dan memberikan dorongan serta dukungan sehingga gangguan kesehatan mentalnya tak lagi ditabuhkan dan dapat memerangi stigma masyarakat.

Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya yaitu generasi Baby Boom dan Generasi X yang dididik dengan pola asuh sulit serta generasi milenial yang berada dalam masa transisi, Gen Z adalah yang paling tertekan secara mental dan rentan terhada depresi.

Sayangnya, kesadaran dan keterbukaan generasi Z tentang masalah kesehatan mental berakibat pada stereotip Gen Z sebagai generasi paling lemah dan rentan terhadap depresi. Malangnya, stereotip yang membuat generasi Z tidak nyaman datang dari generasi sebelumnya.

Generasi sebelumnya atau Gen Old lebih sulit menerima kesehatan mental karena perbedaan pendidikan. Saat itu belum ada webinar pola asuh anak yang positif, pendidikan terkait kesehatan mental dan belum ada internet untuk mengakses informasi mengenai kesehatan mental.

Jadi, tidak heran jika mereka lebih konservatif saat membahas masalah mental. Oleh sebab itu, bukan fenomena baru bahwa generasi Z terus menerus difitnah dengan stereotip seperti lebih manja, lebai, rentan masalah mental dan sebagainya.

Faktanya, hal tersebut adalah cara mereka untuk mengekpresikan dan menyuarakan masalah, berbeda dengan Gen Old yang mengungkapkan masalah mereka dengan cara yang tidak profesional karena dibesarkan oleh orang tua yang keras dalam mengajari mereka untuk menindas dan menyembunyikan luka dari pada mengunggkapkannya.

Orang tua zaman dulu juga dikenal otoriter, sulit menghargai anak, membandingkan anak dengan orang lain, hingga sulit untuk meminta maaf. Hal ini mengakibatkan intergenartional trauma yaitu trauma yang diwariskan dari generasi sebelum kepada generasi berikutnya yang terjadi secara tidak sadar sehingga menjadi kebiasaan.

Mirisnya, mereka selalu membanggakan dan mewariskan didikan tersebut kepada anak-anaknya dengan ungkapan 'Itu belum apa-apa, dulu zaman kami, salah dikit langsung dipukul, ga ada tuh ngeluh!'.

Padahal hal tersebut berdampak negatif bagi tumbuh kembang anak yang awalnya berniat untuk tidak dimanja malah menjadi penyebab anak mengalami gangguan kesehatan mental.

Menurut data The Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada, 2,45 juta remaja Indonesia didiagnosa gangguan kesehatan mental pada tahun sebelumnya.

Kenyataan bahwa generasi penerus harus menghadapi penyakit mental diusia yang begitu muda benar-benar tragis bagi negara ini. Padahal, seharusnya mereka bisa menikmati hidup seperti anak-anak seusia mereka. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi masalah kesehatan mental Gen Z, antara lain:

1. Adverse Childhood Experiences (ACE)

Adverse Childhood Experiences (ACE) atau masa kecil kurang bahagia, terjadi ketika pelecehan secara emosional seperti penggunaan kata bodoh, pengecut dan lain sebagainya. Hal ini, memiliki dampak terhadap kesehatan mental. Korban bisa
menderita gangguan kecemasan maupun gangguan kesehatan mental lainnya.

Perceraian orang tua juga menjadi faktor masa kecil kurang bahagia. Orang tua pun sebenarnya tak dapat disalahkan atas masa kecil kurang bahagia karena juga melewati berbagai pengalaman traumatis seperti perang dan krisis moneter yang sebenarnya juga stressful.

Ekspektasi orangtua terhadap anak juga mempengaruhi kesehatan mental anak, sayangnya banyak orang tua yang tidak mengerti bahwa ekspektasi yang mereka berikan justru menjadi sebuah tekanan bagi anaknya.

2. Media Sosial

Teknologi yang semakin berkembang mampu menyihir Gen Z agar menatap layar kaca sepanjang hari. Meskipun, media sosial membuat Gen Z lebih terbuka terhadap kesehatan mental, kita seringkali melihat di sosial media orang-orang membagikan hal-hal yang menyenangkan tentang kehidupan.

Seperti barang-barang mewah, kesuksesan hingga bentuk tubuh yang bagus, hal-hal tersebut dapat membuat kita merasa insecure, tidak percaya diri dan kurang bersyukur. Selain itu cyberbullying yang semakin marak di dunia maya meningkatkan kecenderungan seseorang untuk bunuh diri.

3. Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 mengambil peran besar terhadap masalah kesehatan mental. Bagaimana tidak? pandemic covid-19 membuat semua orang menjadi was-was, takut dijangkiti virus, diberhentikan dari pekerjaan, kehilangan teman dan kehilangan keluarga.

Manusia sebagai makhluk selama pandemi dipaksa untuk tetap di rumah, tidak bersosialisasi, terpaksa meninggalkan aktivitas yang dulu disukai membuat lebih stressful. Perubahan aktivitas selama pandemi membuat mereka merasa kesepian dan sulit berkonsentrasi, overthinking hingga cemas.

Dari ketiga faktor di atas, jelas bahwa kesehatan mental sangat dekat dengan kita. Namun, masih banyak stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan kesehatan mental, khususnya Gen Old sebagai orangtua.

Stigma ini menyebabkan seseorang menjauhkan diri dari apa yang seharusnya, menjauh dari perawatan medis karena takut dicap sebagai orang gila; stigma ini mencegah orang dengan gangguan kesehatan mental untuk menerima dukungan dan bantuan profesional, memaksa mereka untuk pandai menutupi masalah pribadi dan psikologis mereka, membuat mereka semakin merasa tidak berharga yang pada akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Berdasarkan data Indonesia Association for Suicide Prevention jumlah kasus bunuh diri yang dilaporkan Indonesia pada tahun 2020 ialah sebanyak 670 jiwa dan tingkat kasus bunuh diri yang tidak dilaporkan lebih dari 303 persen dengan rata-rata dunia yang dilaporkan adalah 0-50 persen.

Kasus bunuh diri remaja tidak mungkin terjadi jika remaja tidak menderita gangguan mental sejak awal. Banyak anak yang bunuh diri karena tidak tahu harus bicara dengan siapa hingga mengurung diri.

Perbedaan pemahaman terhadap kesehatan mental seperti ketika sang anak merasa ada yang salah dengan kesehatan mentalnya, seringkali membuat orang tua menganggap hal ini sebagai candaan dan menertawakan bahkan menganggap sang anak lebai.

Kenyataannya hal-hal seperti ini, dapat menjauhkan anak dari orangtuanya dan mencari tempat lain untuk bercerita seperti teman dan media sosial. Sudah seharusnya pemahaman mengenai kesehatan mental menjadi pelajaran penting bagi Gen Old sebagai orang tua untuk mengetahui kondisi mental anaknya.

Sadar dan membuka mata terhadap teknologi dan mengedukasi diri mengenai kesehatan mental menjadikan orang tua tidak merasa paling benar, serta menjadi orangtua yang supel semua bisa menjadi solusi.

Penulis: Niken Corina Olga, Mahasiswi Semester I Universitas Muhammadiyah Malang
Editor: Barkah

   


Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda)


BERITA LAINNYA    
Ilustrasi petugas PKH Riau berikan vaksin ke ternak cegah kasus PMK (foto/int)Kasus Penyakit Mulut dan Kuku di Riau Melonjak, Peternak Diminta Waspada
Satpol PP Pekanbaru turunkan tim amankan aktivitas Gepeng di Flyover SKA (foto/Yuni)Usai Viral, Satpol PP Pekanbaru Turun dan Amankan Aktivitas Gepeng di Flyover SKA
Ketua Poktan Nanas Sakinah, Mardanis, saat panen nanas di kebun miliknya (foto/riki)Melirik Potensi Agro Edu Wisata Nanas di Desa Kualu Kampar
Fakultas Hukum UIR menggelar join pengabdian masyarakat (foto/Yuni)Pengabdian Masyarakat Hukum UIR Paparkan Pentingnya HAKI Bagi Penegak Hukum
Suzuki tawarkan promo menarik selama pameran Mall SKA Pekanbaru (foto/int)Promo Menarik Suzuki di Pameran Mal SKA Pekanbaru, Grand Vitara Diskon hingga Rp 3 Juta
  Andrigo, penyanyi lagu Pacar Selingan (foto/ist)Ari Bias Menangkan Gugatan Hak Cipta Lagu atas Agnez Mo, Andrigo: Sudah Tepat!
Rusak parah, warga timbun Jalan Suka Karya (foto/int)Pemko Anggarkan Rp 40 M untuk Perbaikan Jalan Rusak di Pekanbaru
Ilustrasi harga elpiji 3 kilogram di Pekanbaru tetap Rp18.000 (foto/int)Disperindag Pekanbaru Tegaskan HET Elpiji 3 Kg Tetap Rp18 Ribu
Plt Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru, Ingot Ahmad Hutasuhut (foto/int)21 Puskesmas di Pekanbaru Mulai Layani Pemeriksaan Kesehatan Gratis
FPKB dan BPR Madani bahas kredit usaha bunga nol persen untuk UMKM (foto/ist)FPKB dan BPR Madani Bahas Kredit Usaha Bunga Nol Persen untuk UMKM
Komentar Anda :

 
 
 
Potret Lensa
Tingkatkan Kualitas SDM, PT BSP - UMRI Teken MoU
 
 
Eksekutif : Pemprov Riau Pekanbaru Dumai Inhu Kuansing Inhil Kampar Pelalawan Rohul Bengkalis Siak Rohil Meranti
Legislatif : DPRD Pekanbaru DPRD Dumai DPRD Inhu DPRD Kuansing DPRD Inhil DPRD Kampar DPRD Pelalawan DPRD Rohul
DPRD Bengkalis DPRD Siak DPRD Rohil DPRD Meranti
     
Management : Redaksi | Disclaimer | Pedoman Media Siber | Kode Etik Jurnalistik Wartawan | Visi dan Misi
    © 2010-2025 PT. METRO MEDIA CEMERLANG (MMC), All Rights Reserved