PEKANBARU – Kecanduan judi online terus menjadi momok yang meresahkan masyarakat, tak hanya menyasar orang dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja. Yanwar Arief, M.Ps., seorang psikolog di Kota Pekanbaru, Riau, mengisahkan pengalaman seorang kliennya yang masih duduk di bangku kelas tiga SMA.
Ironisnya, siswa SMA itu telah menghabiskan lebih dari Rp 100 juta dalam waktu enam bulan demi berjudi online. Remaja ini, meski berasal dari keluarga berada, rela menjual barang-barang berharga, seperti laptop dan motor, untuk melunasi utang dari pinjaman online yang digunakannya berjudi.
"Awalnya, orangtuanya hanya curiga karena uang di rumah sering hilang. Ketika ditanya, anak ini selalu menghindar. Setelah diselidiki, baru ketahuan ada utang dari pinjaman online untuk berjudi," ungkap Yanwar kepada halloriau belum lama ini.
Ketua Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi) Wilayah Riau ini menjelaskan bahwa fenomena kecanduan judi online kini makin mengkhawatirkan. Bukan hanya orang dewasa yang jadi korban, remaja hingga anak-anak SMP pun terjebak dalam siklus kecanduan yang merusak. Menurut Yanwar, sebagian besar dari mereka terpengaruh oleh teman sebaya yang mengajak mereka mencoba judi online.
"Saat pertama kali mencoba, banyak yang menang. Ini jadi pemicu dan menimbulkan rasa senang. Lalu, mereka mencoba lagi dengan taruhan lebih besar hingga akhirnya kecanduan," jelas Yanwar.
Yanwar mengungkap bahwa perubahan perilaku mulai tampak ketika kecanduan menguasai remaja tersebut. Mereka cenderung menarik diri, menjauh dari keluarga, dan merasa malu atas kekalahan yang dialami. "Kecanduan memengaruhi pola pikir dan perilaku. Anak ini jadi tertutup dan melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri serta orang lain," tambah Yanwar, yang juga merupakan dosen Psikologi di Universitas Islam Riau (UIR).
Yanwar menekankan bahwa dukungan keluarga sangat penting untuk menyembuhkan remaja yang kecanduan. Menurutnya, anak-anak ini membutuhkan konseling berkelanjutan agar bisa memulihkan pola pikirnya dan meningkatkan kepercayaan diri. "Orangtua perlu mendampingi, mendengar keluh kesah, dan menghindari sikap menghakimi yang justru membuat anak semakin tertekan," tuturnya.
Dalam kasus kliennya, upaya dari keluarga, termasuk nasihat dan rukiah, belum membuahkan hasil. Namun, setelah mendapat bantuan dari psikolog, remaja tersebut mulai menunjukkan perubahan positif. "Kadang, anak yang sudah kehilangan kepercayaan pada orangtua memerlukan figur ketiga, seperti psikolog atau ustaz, untuk membantunya pulih," tambah Yanwar.
Yanwar juga menyoroti tantangan besar dalam menangani kecanduan judi online karena sifatnya yang privat.
"Berbeda dari judi konvensional yang dilakukan di tempat umum, judi online bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, bahkan di dalam kamar. Ini fenomena gunung es—banyak yang tak terlihat di permukaan," tegasnya.
Menurutnya, edukasi mengenai bahaya judi online harus terus disosialisasikan, terutama karena dampaknya yang dapat memicu gangguan mental dan depresi. Keluarga menjadi pihak yang paling merasakan dampak negatif dari kecanduan ini.
Solusi dan Pencegahan
Yanwar menyarankan agar kegiatan positif untuk remaja terus ditingkatkan, seperti ekstrakurikuler dan kegiatan sosial, guna mengurangi waktu yang dihabiskan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Selain itu, peran keluarga sangat penting dalam mengawasi aktivitas anak-anak mereka agar tidak terjerumus.
"Banyak keluarga yang terlalu percaya dan kurang mengawasi aktivitas anaknya, sehingga pengawasan jadi lemah," ujarnya.
Editor: Riki