PEKANBARU - Sekretaris Fraksi PKB DPRD Riau, Sugianto mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya untuk segera bergerak menanggapi kerusakan lingkungan yang terjadi di Provinsi Riau. Pasalnya, pencemaran limbah B3 (minyak bumi) PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di lahan masyarakat masih banyak yang belum dipulihkan. Ratusan lokasi yang berada di Riau belum terlihat pemulihan fungsi lingkungan hidup oleh PT CPI.
Seperti halnya keluhan yang disampikan R Siregar salah seorang warga Minas yang mengeluh karena lahanya tercemar limbah B3 PT CPI. Dimana, lokasi Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi (TTM) dimasa kontrak PT CPI sudah dilakukan beberapa tahapan yakni, pre assessment, survei, validasi, verifikasi dan inventarisasi.
Tahapan negoisasi dan pemberian kompensasi nilai ganti kerugian akibat pencemaran tidak dilanjutkan mengingat kontrak kerja product sharing PT CPI segera berakhir.
Dari informasi di lapangan, beberapa lokasi TTM lain tahapan selanjutnya juga terhenti karena kontrak PT CPI akan berakhir. Pihak PT CPI mengatakan akan ditindak lanjuti oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) dan semua berkas akan diserahkan kepada PT PHR.
"Selanjutnya dengan beroperasinya PT PHR terkait pencemaran tanah terkontaminasi minyak ini sudah dipertanyakan kepada pihak PT PHR. Oleh PT PHR mengatakan menunggu adanya rekomendasi persetujuan dari SKK Migas," kata Sugianto dilansir goriau.com, Kamis (4/8/2022).
Sugianto menuturkan, kasus seperti ini masih banyak terjadi di lokasi yang terdapat TTM, artinya bukan hanya terjadi di Minas saja. Meski, ada beberapa yang sudah diberikan kompensasi.
"Tetapi, lokasi tersebut sama sekali belum dilakukan pemulihan terhadap lahan-lahan yang tercemar limbah B3 tersebut. Sehingga, pencemaran limbah B3 masih terus berlangsung sampai saat ini, lahan masyarakat tidak bisa digunakan untuk usaha," tuturnya.
Dijelaskannya, pencemaran limbah B3 sudah lama terjadi di lahan masyarakat dan masih akan terus berlanjut dan berpotensi meluas yang berdampak semakin membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.
"Hal ini sudah lama menimbulkan keresahan masyarakat, mengurangi kenyamanan hidup mereka, sehinga masyarakat yang lahanya tercemar limbah B3 (minyak bumi) PT CPI tidak saja mengalami kerugian secara materiil, tetapi juga mengalami kerugian immateriil," jelasnya.
"Saya melihat, justru Menteri LHK menjadi pelindung PT CPI dan SKK Migas. Bahkan Menteri LHK sebagai anggota Komisi Pengawas SKK Migas harusnya pihak yang paling tahu persoalan ini, karena satu kaki Siti Nurbaya ada di KLHK dan satunya lagi di SKK Migas," sambungnya.
Gubernur Riau dan Menteri LHK, lanjut Sugianto, seharusnya hadir untuk masyarakat dengan menggugat PT CPI untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan doktrin public trust dan parens patriae, dimana tindakan Pemerintah untuk menggugat PT CPI itu dilakukan atas nama kepentingan umum (on behalf of all citizens).
"Status sebagai trustee atau wali mewajibkan negara untuk menjamin dan memberikan perlindungan terhadap lingkungan dan masyarakat dalam upaya untuk menyelenggarakan kesejahteraan bagi warga negaranya," sebutnya.
Jadi, Sugianto berpendapat, rencana pemulihan harus dilakukan melalui tahapan-tahapan yang ketat dan harus terbuka bagi publik dan diinformasikan kepada pihak pencemar, secara rinci menjelaskan bagaimana kerugian masyarakat dari sejak terjadi pencemaran akan dipulihkan, dengan cara seperti apa dan berapa lama.
"Masyarakat yang lahannya tercemar, meminta ketegasan dan tanggungjawab Gubernur Riau dan Menteri LHK untuk melindungi hak asasinya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta telah dilanggar oleh kegiatan PT CPI atas persetujuan SKK Migas," bebernya.
Sesuai dalam Pasal 82 UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH jo UU No 11 tentang Cipta Kerja juga memberikan mandat berupa, Pemerintah Pusat berwenang untuk memaksa penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya.
Dan Pemerintah Pusat berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan.
Selain itu perkara lingkungan hidup termasuk bukan delik aduan, sehingga Aparat Penegak Hukum (APH) juga dapat memproses dugaan tindak pidana yang dilakukan PT CPI dan SKK Migas tanpa harus menerima pengaduan masyarakat yang lahannya masih tercemar limbah B3 PT CPI.
Menurut Sugianto, termasuk memproses jika ada pejabat atau penyelenggara negara yang tidak melakukan tindakan yang seharusnya/pembiaran yang menghambat dan atau mengurangi hak masyarakat atau lingkungan hidup untuk memperoleh ganti rugi dan pemulihan fungsi lingkungan hidup dari PT CPI.
"Karena pejabat/penyelenggara negara tersebut dianggap telah berperan menguntungkan suatu korporasi. Sehingga, pejabat atau penyelenggara negara tersebut dianggap melakukan tindak pidana korupsi," ungkapnya.
"Sebaiknya APH juga memproses pihak-pihak yang diduga ikut dan berperan memerintahkan, melakukan, menyaksikan, menerima, menyimpan, menguasai dan atau menggunakan dana ganti rugi dan pemulihan fungsi Lingkungan Hidup tanpa hak atau persetujuan masyarakat korban limbah B3 PT CPI. Sehingga unsur actus reus dan mens dugaan penggelapan itu terjadi yang berakibat sampai saat ini masyarakat tidak menerima ganti rugi dan atau lahannya tidak dipulihkan," pungkasnya.(*)
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda)