Jangan Tergantung pada Sawit, Gubri Minta Seluruh Bupati Kembangkan Tanaman Pangan di Riau
PEKANBARU - Meskipun terkenal sebagai provinsi penghasil minyak dan gas (migas) serta kelapa sawit terbesar di Indonesia, namun pertumbuhan ekonomi di Riau masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Bahkan untuk urusan penyediaan bahan pangan, Riau tercatat malah minus dan sangat tergantung pasokan pangan dari provinsi tetangga.
Gubernur Riau (Gubri) H Syamsuar, Rabu (12/2) mengatakan, kondisi itu membuat pihaknya saat ini mulai beralih dari pengembangan tanaman industri menjadi tanaman pangan. Selain untuk meningkatkan perekonomian, juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri di wilayah Riau.
"Di Riau saat ini masih ada kabupaten yang masih tergolong rawan pangan, seperti Kabupaten Kepulauan Meranti. Meskipun di sana banyak menghasilkan sagu, namun sagu itu belum menjadi makanan pokok. Karena sampai sekarang ini makanan pokok itu indikatornya masih beras," kata Syamsuar dikutip dari tribunpekanbaru.
Dikatakan, setidaknya ada lima daerah di Riau yang masuk dalam kategori daerah rawan pangan, yakni Kabupaten Bengkalis, Kepulauan Meranti, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, dan Kabupaten Kampar.
"Kondisi ini harus menjadi perhatian seluruh bupati, karena kalau sempat suatu saat kita kekurangan dukungan dari provinsi tetangga berkaitan dengan pasokan pangan, maka ini akan menjadi persoalan baru bagi daerah Riau, karena akan terjadi kerawanan pangan. Tentu kondisi ini tidak kita harapkan," ujarnya.
Untuk itu, Gubri H Syamsuar juga meminta pihak universitas-universitas yang ada di Riau untuk dapat membantu masyarakat melalui penelitian yang dilakukan, dalam hal pengembangan tanaman pangan. Selain itu, juga melakukan sosialisasi agar masyarakat tidak selalu bergantung kepada tanaman kelapa sawit.
"Jangan terus menerus tergantung kepada sawit, karena masih banyak tanaman lainnya yang juga menjanjikan dalam hal pendapatan. Seperti jahe, nenas, atau pinang yang mudah ditanam serta banyak di ekspor," sebutnya.
Dalam rencana pengembangan tanaman pangan tersebut, lanjut Syamsuar, juga sudah didukung oleh pemerintah pusat yang mengeluarkan moratorium pemberian izin penanaman kelapa sawit, terutama di lahan gambut. Diharapkan dengan kebijakan tersebut, sekaligus bisa memperkecil risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
"Diharapkan jika masyarakat mulai mengembangkan tanaman pangan, maka lahan-lahan yang ada akan lebih terjaga, sehingga bisa meminimalisir terjadinya kebakaran hutan dan lahan," terangnya.
Gubri H Syamsuar juga mengajak para bupati yang ada di Riau untuk bisa mengembangkan usaha tanaman pangan, terutama padi sebagai makanan pokok. Agar jika nantinya terjadi bencana, ketersediaan bahan pangan di Riau tidak terganggu.
"Mari manfaatkan lahan-lahan yang ada di kabupaten untuk pengembangan tanaman pangan. Kalaupun lahannya terbatas, maka bisa menggunakan bibit unggul tanaman pangan yang masa panennya bisa cepat," katanya lagi.
Seperti diketahui, poduksi beras di Provinsi Riau cenderung mengalami penurunan sejak tahun 2014 hingga awal tahun 2020. Bahkan saat ini, petani gabah di Riau hanya mampu menyediakan 33 persen saja dari kebutuhan konsumsi beras di Riau. Di sisi lain, tingkat konsumsi beras di Riau terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Syamsuar mengungkapkan, salah satu penyebab turunnya produksi beras di Riau akibat adanya penurunan hasil panen gabah di tingkat petani.
Belum menggembirakannya hasil panen gabah di Riau disebabkan oleh beberapa faktor. Selain dukungan sarana dan bibit serta pupuk yang tidak memadai, faktor alam juga menjadi penyebab rendahnya hasil panen padi di wilayah Riau.
"Irigasi persawahan kita belum baik. Beberapa daerah yang menjadi pusat persawahan juga banyak yang berdekatan dengan sungai, sehingga rawan mengalami banjir. Seperti di Inhu, Inhil, dan kuansing," katanya.
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Gubri Syamsuar, tahun 2019 lalu produksi beras di Riau sekitar 208.656 ton. Sedangkan angka konsumsi beras di Riau mencapai 634.063 ton, sehingga terjadi defisit beras hingga 425.496 ton pada tahun 2019 lalu.
"Ini jelas menjadi persoalan. Kita akan minta dukungan dari pemerintah pusat untuk mengatasi persoalan ini. Karena setiap tahun produksi beras kita mengalami penurunan, jadi kita berharap di tahun ini bisa kita tingkatkan," tuturnya. (*)
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :