Nestapa Penghasil Sagu Terbesar di Dunia : Kepulauan Meranti Hanya Dikepung Limbah, Tanpa Hasil Sepeser pun untuk Daerah
SELATPANJANG - Kepulauan Meranti namanya Negeri Sagu, tempat yang dikenal sebagai penghasil sagu terbesar di Indonesia bahkan dunia. Sebuah identitas yang seharusnya menjadi kebanggaan, namun kenyataannya justru menyimpan banyak ironi. Bagaikan sampul buku yang memukau, isinya tak seindah tampilan luarnya.
Kabupaten Kepulauan Meranti dengan produksi tepung sagu mencapai 241.277 ton per tahun dan menyumbang sekitar 70 persen kebutuhan komoditas sagu nasional dan ditetapkan sebagai sentra Sagu nasional oleh Kementerian Pertanian RI. Dimana sebanyak 20 persen masyarakatnya menggantungkan hidup dari perkebunan sagu, yang tersebar di lahan seluas 39.664 hektare dan didukung oleh 95 unit kilang sagu milik masyarakat. Sementara itu, ada juga PT Nasional Sago Prima (NSP), anak perusahaan Sampoerna, memproduksi sekitar 50 ton sagu per hari dari perkebunan seluas 14 ribu hektare.
Namun, di balik kejayaan industri sagu ini, ancaman besar mengintai. Limbah dari proses produksi sagu yang tidak terkelola dengan baik menjadi masalah serius bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar. Sungai-sungai yang dulunya bersih kini berubah keruh dan memancarkan aroma tak sedap. Ekosistem perlahan terkikis, tetapi solusi konkret masih jauh dari harapan.
Salah satu jenis limbah yang menjadi perhatian adalah ampas sagu atau yang dikenal dengan istilah Repu oleh masyarakat setempat. Limbah ini dihasilkan sebanyak 80.426 ton per tahun, atau sekitar sepertiga dari total produksi sagu. Jika tidak dikelola dengan baik, limbah ini dapat mencemari air dan merusak keseimbangan ekosistem perairan di sekitar kilang sagu.
Tidak banyak kilang sagu yang menerapkan pengelolaan limbah yang baik dan benar selama beroperasi. Dimana limbah tersebut langsung dialirkan ke sebuah hamparan hutan mangrove dan jika air pasang laut dia akan tergerus bersama masuk ke dalam sungai dan mengalir ke laut yang mengancam keberlangsungan ekosistem.
Permasalahan limbah sagu di Meranti bukanlah hal baru. Berbagai wacana untuk mengolah Repu menjadi produk bernilai ekonomi, seperti pakan ternak atau biogas, telah muncul, namun implementasinya masih minim. Di sisi lain, kesadaran akan pentingnya pengelolaan limbah yang ramah lingkungan juga masih perlu ditingkatkan, baik di kalangan pengusaha maupun masyarakat.
Keberlanjutan industri sagu di Kepulauan Meranti bergantung pada bagaimana pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat mencari solusi untuk mengelola limbah ini. Jika tidak segera ditangani, dampaknya tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga dapat mengurangi daya saing industri sagu Meranti di pasar global.
Di balik kejayaan industri sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti, ada luka yang sulit sembuh -harga sagu yang dikendalikan oleh cukong di Pulau Jawa. Meskipun masyarakat Meranti bekerja keras dari pagi hingga malam, mereka hanya mendapat upah kecil dari hasil panen sagu.
Dimana kapal-kapal tanker setiap hari hanya menyajikan pemandangan sagu yang bongkar di tengah laut dan siap diangkut ke Cirebon.
Situasi ini seperti ayam yang kelaparan di lumbung padi, dimana sagu yang melimpah di Kepulauan Meranti tidak lagi menjadi berkah, tetapi ironi bagi penduduk yang dulu menggantungkan hidup dari tanaman ini. Monopoli oleh segelintir konglomerat telah mengubah sagu menjadi komoditas yang sulit diakses. Sudah. Seharusnya pemerintah hadir dan memimpin perlawanan terhadap ketidakadilan dalam tata kelola sagu ini, peran
aktif pemerintah dalam mengatur tata niaga sagu dan melindungi kepentingan petani lokal menjadi kunci dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Para pengepul besar di Pulau Jawa memegang kendali penuh atas harga. Sistem ijon, di mana pengusaha menerima pembayaran lebih awal sebelum produksi, membuat mereka terikat kontrak dan tidak memiliki pilihan lain.
"Kami terpaksa menjual ke sana karena mereka berani membeli dalam jumlah besar. Padahal, Meranti yang punya sagu, tapi yang menentukan harga justru orang di Jawa. Kalau ada pengepul lain, kami tidak akan menjual lagi ke Cirebon," ujar Atan, salah satu pengusaha sagu di Meranti.
Hal senada disampaikan Ping Cheng, pemilik kilang sagu. Menurutnya, kontrak antara kilang dan pengepul di Cirebon sangat mengikat, dimana uang akan dikirim dahulu, sedangkan tepung sagu bisa menyusul kemudian.
"Sagu belum ditebang, belum diolah, mereka sudah bayar. Kami seperti berhutang jadinya. Tapi kalau tidak ke Cirebon, mau jual ke mana?" katanya.
Harga yang diatur oleh penampung tepung sagu di Pulau Jawa ternyata memberi dampak yang signifikan, dimana dampak tersebut yakni mempengaruhi harga tepung sagu lokal yang dijual eceran.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepulauan Meranti, Marwan mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa ikut campur terkait permasalahan harga yang sejak dahulu ditentukan oleh pengepul di Pulau Jawa.
"Ini sudah berlaku sejak lama, namun kita tidak bisa mengintervensi mereka. Dahulu kita pernah mencoba untuk memfasilitasi hal ini guna menekan harga, namun sikap antara kedua belah pihak yang terkesan tertutup membuat hal ini susah untuk dilakukan," kata Marwan
Sementara itu solusi yang pernah dilakukan dinas terkait adalah dengan menggandeng pihak Badan Umum Logistik (Bulog).
"Kita sudah pernah menjajaki kepada pihak Bulog dan sagu kita diambil alih pemasarannya, hal ini agar harga sagu bisa stabil. Namun hal ini belum bisa dilakukan karena sagu belum menjadi kebutuhan pokok nasional," ujarnya.
Tanpa regulasi yang berpihak pada petani dan pengusaha lokal, industri sagu Meranti akan terus berada di bawah kendali pengepul besar. Petani dan pengusaha hanya bisa berharap ada alternatif pemasaran yang lebih adil untuk menyejahterakan mereka di tanah sendiri.
Sentra IKM Sagu Sungai Tohor Mati Suri: Tengkulak Kuasai Pasar, Pemda Tak Berdaya
Sementara itu Sentra Industri Kecil dan Menengah (IKM) Sagu di Sungai Tohor, Kecamatan Tebingtinggi Timur, yang dibangun dengan dana Rp 40 miliar dari Dana Alokasi Khusus (DAK), kini mati suri. Harapan besar untuk menjadikannya pusat produksi dan pengolahan sagu berbasis masyarakat perlahan memudar akibat persaingan harga yang tidak sehat dengan tengkulak.
Awalnya, sentra ini direncanakan dikelola oleh BUMD PT Bumi Meranti bekerja sama dengan BUMDes dan pelaku usaha sagu setempat. Namun, setelah sekian lama, para pengelola kilang sagu di sekitar membentuk koperasi untuk mengelola Sentra IKM. Sayangnya, alih-alih memasok bahan baku ke sentra, mereka justru lebih memilih menjualnya ke pengepul yang membawa sagu ke Malaysia.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepulauan Meranti, Marwan, mengungkapkan bahwa ketidakstabilan harga menjadi kendala utama. Dijelaskan, sebenarnya harga yang dibeli oleh UPT Sentra IKM sudah berada diatas harga yang ditetapkan provinsi. Namun kondisi itu tetap kalah dengan tengkulak tersebut.
"Harga yang kami beli itu sebenarnya sudah berada diatas harga yang ditetapkan oleh provinsi yakni hanya berkisar Rp 2.200 namun kilang milik masyarakat lebih cenderung menjualnya ke tengkulak dengan harga yang ditetapkan sepihak. Kalau kita paksakan mengikuti permainan mereka bisa gulung tikar juga. Lagi pula masyarakat pemilik kilang juga sering diberikan pinjaman uang terlebih dahulu sehingga ada semacam terhutang budi," ungkap Marwan.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepulauan Meranti, Marwan mengatakan adanya persaingan yang tidak sehat oleh pengepul sehingga terjadinya perang harga yang menyebabkan harga tepung sagu basah menjadi tinggi. Hal itu berakibat kepada UPT Sentra IKM Sagu milik pemerintah daerah tidak mampu membeli sehingga kekurangan pasokan bahan baku.
Dalam posisi ini, sentra tetap kalah bersaing. Tengkulak kerap memberikan pinjaman uang kepada pemilik kilang, sehingga mereka merasa berhutang budi dan lebih memilih menjual sagu kepada pengepul tersebut.
"Mereka tidak bisa kami salahkan karena tentu ingin mendapatkan harga lebih tinggi. Namun, konsepnya berbeda. Tepung sagu yang kami produksi diperuntukkan bagi UMKM, sementara cukong menjualnya kembali ke Malaysia dengan harga ringgit tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu," tambah Marwan.
Untuk beroperasi penuh, Sentra IKM Sagu memerlukan pasokan bahan baku sagu basah sebanyak 600 ton per bulan. Namun, realitasnya, sentra hanya menerima sekitar 140 ton per bulan karena banyak kilang lebih memilih mengekspor ke Malaysia melalui tengkulak.
Akibat kondisi ini, Pemkab Kepulauan Meranti tengah merancang langkah strategis agar sentra ini bisa kembali beroperasi. "Kami akan melakukan lelang pengelolaan kepada pihak yang berminat, sambil menunggu hasil appraisal agar fasilitas ini bisa dikelola kembali dengan lebih baik," ungkap Marwan.
Jika tidak ada langkah konkret untuk mengatasi dominasi tengkulak dan mengamankan pasokan bahan baku, Sentra IKM Sagu yang diharapkan menjadi kebanggaan daerah hanya akan menjadi proyek mangkrak yang tak memberi manfaat bagi masyarakat.
Sagu, Tulang Punggung Ekonomi Meranti yang Tak Menyumbang PAD
Kabupaten Kepulauan Meranti, yang dikenal sebagai penghasil sagu terbesar di Indonesia, memiliki perputaran uang dari sektor industri sagu yang jauh lebih besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten tersebut. Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa industri sagu menghasilkan perputaran uang sebesar Rp 2 triliun per tahun, sementara APBD Meranti hanya sekitar Rp 1,3 triliun.
Namun, meskipun sagu menjadi tulang punggung ekonomi daerah, ironisnya, tidak ada sepeser pun yang masuk ke kas daerah sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kepulauan Meranti, Susanti, SH, bersama Kepala Bidang Pengembangan Kebijakan dan Sistem Informasi, Rio Hilmi, ST, menyatakan bahwa pihaknya telah berupaya mencari cara agar perputaran uang dari industri sagu bisa berkontribusi terhadap PAD.
Salah satu langkah yang sudah dilakukan adalah berkoordinasi dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk menggali potensi pendapatan dari sektor ini. Dari hasil koordinasi tersebut, ditemukan bahwa ada peluang PAD sebesar Rp 50-76 miliar yang bisa diperoleh dari beberapa aspek, seperti:
Perizinan usaha kilang sagu, Pengelolaan dampak limbah industri sagu dan Penyewaan gudang penyimpanan sagu.
"Kami sudah melakukan upaya berkoordinasi dengan UGM dalam rangka penggalian potensi pendapatan dari sektor Sagu yang kita ketahui sangat melimpah. Namun hingga kini tidak ada sumbangan yang kita dapatkan untuk sektor PAD. Dari hasil sharing tersebut, ternyata ada banyak celah yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan PAD, terutama dari aspek perizinan, dampak limbah, dan pemanfaatan gudang. Ini masih tahap awal, dan tentu perlu kajian lebih mendalam," ujar Rio Hilmi.
Meskipun sagu menjadi sektor unggulan di Kepulauan Meranti, selama ini pengelolaannya masih bersifat bebas dan kurang terstruktur dalam hal kontribusi terhadap kas daerah. Jika regulasi yang tepat bisa diterapkan, potensi PAD dari industri sagu bisa menjadi sumber pendapatan baru yang signifikan bagi Meranti.
Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan agar regulasi yang diterapkan tidak justru memberatkan pelaku usaha sagu yang selama ini sudah terbebani dengan persaingan harga dari tengkulak dan pengepul luar daerah. Pemerintah daerah perlu menemukan keseimbangan antara meningkatkan PAD dan tetap menjaga keberlangsungan industri sagu sebagai penopang ekonomi masyarakat.
Lalu, apa yang benar-benar didapatkan oleh masyarakat Negeri Sagu? Kejayaan hanya menjadi milik segelintir pihak, sementara warga lokal terjebak dalam lingkaran ketidakadilan. Negeri Sagu, yang seharusnya menjadi simbol kemakmuran, justru menjadi pengingat betapa rentannya kesejahteraan ketika monopoli dan ketidakpedulian menguasai.
Kini, waktunya untuk bertanya: kapan identitas ini benar-benar membawa kebanggaan bagi semua, bukan hanya segelintir orang?
Penulis : Ali Imroen
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :