Kinerja Buruk Dinsos P3AP2KB Kepulauan Meranti: Anggaran Tidak Transparan, Korban Kekerasan Terabaikan dan Predikat KLA Hanya Gengsi Tanpa Implementasi
SELATPANJANG - Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kepulauan Meranti menjadi alarm bahaya yang seharusnya mendapat perhatian serius. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa penanganan kasus masih jauh dari optimal. Banyak korban yang tidak mendapatkan pendampingan layak, bahkan hak-haknya pun terabaikan.
Kepulauan Meranti yang telah menyandang predikat sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA) kategori Nindya. Namun, penghargaan itu seolah hanya sebatas pencitraan tanpa implementasi nyata di lapangan.
Kolaborasi antarinstansi yang seharusnya solid justru berjalan tidak harmonis. Kinerja Bidang PPPA dan UPT PPA di Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinsos P3AP2KB) Kepulauan Meranti pun patut dipertanyakan dan kembali disorot. Kali ini, keluhan datang dari pihak kepolisian yang merasa bahwa koordinasi dalam penanganan kasus perempuan dan anak sangat lemah, bahkan sering kali tidak mendapat respons yang layak.
Sejak awal, pihak Polres Kepulauan Meranti rutin mengirimkan surat resmi, baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy, kepada Dinsos P3AP2KB setiap kali ada kasus terkait perempuan dan anak. Surat tersebut diterima dengan tanda bukti terima, namun dalam banyak kasus, dinas tidak turun langsung untuk mendampingi korban.
“Saya tidak tahu sampai hari ini seperti apa disposisinya, lebih banyak tidak mau turun mendampingi,” ujar Bripka Dessy Suwita Dewi, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Kepulauan Meranti.
Bahkan, pernah suatu waktu, pihak Dinsos P3AP2KB diberikan kesempatan untuk menyelesaikan kasus sendiri. Namun, hasilnya tidak maksimal, dengan alur kerja yang berantakan dan tidak sistematis.
Disebutkan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak memerlukan banyak bentuk pendampingan, termasuk pendampingan psikologis bagi korban trauma, visum sebagai bukti hukum dalam penyelidikan kasus kekerasan seksual, penyediaan rumah aman atau penginapan sementara bagi korban dan bantuan makanan dan transportasi untuk keperluan rehabilitasi.
Namun, dalam kenyataannya, banyak dari kebutuhan tersebut tidak terpenuhi. Bahkan ketika kepolisian atau pekerja sosial meminta bantuan, mereka sering dipersulit dengan alasan tidak ada anggaran.
“Memang ada sebagian yang diakomodasi, tapi kami harus memintanya seperti pengemis. Padahal ini bukan permintaan yang mengada-ada, ini benar-benar kebutuhan korban,” ujarnya.
Beberapa kebutuhan mendesak seperti Biaya visum bagi korban kekerasan tidak sepenuhnya ditanggung, Transportasi korban ke pusat rehabilitasi kerap terkendala dan
minimnya pendampingan psikososial untuk korban dan keluarga.
“Kami di kepolisian sering mengalami kendala koordinasi dengan dinas terkait. Seharusnya mereka hadir saat dibutuhkan dalam proses pendampingan anak korban kekerasan, tapi kenyataannya mereka sering tidak responsif,” ungkap Dessy.
Terkait dengan kebutuhan visum dan pendampingan psikologi yang merupakan kebutuhan penting bagi korban saat diminta juga tidak diberikan dengan alasan tidak dianggarkan. Visum merupakan salah satu dokumen penting dalam pembuktian kasus kekerasan seksual, namun anggaran yang diberikan sangat minim.
Diketahui bahwa dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), biaya visum tercatat sebesar Rp 300 ribu, namun dalam praktiknya, hanya dibayarkan Rp 50 ribu.
“Harusnya mereka tahu kebutuhan korban. Visum dan psikolog itu penting, tapi malah tidak dianggarkan. Sekarang saja saat mereka menjabat di sana bermasalah dan membuat benang kusut dulu tidak ada pernah ada masalah, sangat mudah berkoordinasi," tuturnya
Selain itu, akses ke psikolog untuk korban juga dipersulit. Pihak Dinsos P3AP2KB tidak mengizinkan korban diantar ke psikolog di Pekanbaru, padahal dalam beberapa kasus, trauma yang dialami korban sangat berat dan membutuhkan tindakan cepat.
“Maunya mereka psikolog datang ke sini, padahal ini butuh waktu lama. Kalau korban diantar langsung, pemulihan lebih cepat. Tapi sepertinya ada alasan lain, yakni soal pencairan anggaran yang bisa diklaim lebih besar jika psikolog didatangkan ke Meranti,” ungkap Bripka Dessy Suwita Dewi.
Selanjutnya anggaran dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Kementerian PPPA RI tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan korban, malah lebih banyak digunakan untuk kegiatan seremonial.
"Banyak korban anak berhadapan dengan hukum, kekerasan seksual, pelecehan, hingga anak terlantar yang susah mendapatkan pendampingan memadai. Bahkan, koordinasi antarinstansi masih sangat lemah," ujar Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Kepulauan Meranti, Bripka Dessy Suwita Dewi.
Seharusnya, program yang dirancang untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak tidak hanya berorientasi pada penghargaan dan pencitraan belaka. Pendampingan psikologis, rehabilitasi, serta pemenuhan hak-hak korban harus menjadi prioritas utama.
Namun, realitasnya, penanganan kasus masih dilakukan secara parsial. Tidak ada sinergi yang kuat antara pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan lembaga pendampingan anak. Hal ini menyebabkan banyak korban yang terabaikan dan tidak mendapatkan pemulihan yang layak.
Jika situasi ini terus dibiarkan, maka predikat Kabupaten Layak Anak hanya akan menjadi gelar tanpa makna—sebuah penghargaan yang tidak mencerminkan realitas di lapangan.
Sebagai leading sector dalam penanganan kasus perempuan dan anak, Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinsos P3AP2KB) Kabupaten Kepulauan Meranti seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi dan memenuhi hak anak.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Alih-alih menjadi pihak yang responsif dan proaktif, dinilai justru abai terhadap tugas dan tanggung jawabnya.
Kepala Dinsos P3AP2KB Kepulauan Meranti, Kamisah, mendapat sorotan karena dianggap tidak berpihak dalam upaya penanganan kasus perempuan dan anak. Sebagai pemegang kebijakan di OPD tersebut, ia justru dinilai menghambat pemenuhan hak anak dengan minimnya implementasi kebijakan di lapangan.
Padahal, anggaran perlindungan anak telah dialokasikan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Namun, dalam praktiknya, penggunaan dana tersebut belum optimal.
Dari berbagai fakta ini, jelas bahwa Dinsos P3AP2KB tidak bekerja secara maksimal dalam mendampingi kasus kekerasan perempuan dan anak di Kepulauan Meranti.
Jika kondisi ini terus berlanjut, korban-korban kekerasan akan semakin sulit mendapatkan keadilan dan pemulihan yang layak. Pemerintah daerah harus segera mengevaluasi kinerja OPD terkait dan memastikan bahwa anggaran yang tersedia benar-benar digunakan untuk korban, bukan hanya untuk pencitraan dan seremonial belaka.
Jika tidak ada perubahan nyata, maka keseriusan Kabupaten Kepulauan Meranti dalam melindungi perempuan dan anak hanya sebatas slogan tanpa makna.
Lebih lanjut dikatakan, seharusnya penanganan kasus anak bukan hanya sebatas administratif, tetapi harus melibatkan tindakan nyata di lapangan. Namun, koordinasi antarinstansi masih lemah, sehingga penanganan kasus sering kali dilakukan secara parsial dan tanpa dukungan optimal dari pemerintah daerah.
Padahal, peran OPD terkait sangat penting dalam memastikan korban mendapatkan haknya sesuai peraturan yang berlaku. Namun, hingga saat ini, banyak kasus yang tidak mendapatkan perhatian serius, bahkan terkesan dibiarkan.
"Kami sering harus turun didampingi Pekerja Sosial bukan dari OPD terkait dalam menangani korban anak, tanpa ada pendampingan yang seharusnya mereka lakukan. Ini membuktikan bahwa sistem perlindungan anak di Meranti masih sangat lemah," ujarnya lagi.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka hak-hak anak korban kekerasan di Kepulauan Meranti akan terus terabaikan. Dinsos P3AP2KB harus berbenah diri dan lebih proaktif dalam menjalankan tugasnya.
Menurutnya, saat kepolisian membutuhkan pendampingan dari Dinsos P3AP2KB, dinas terkait tidak pernah benar-benar siap dan selalu absen saat dibutuhkan.
"Pemerintah daerah seperti tidak hadir di sini. Tidak pernah standby saat kami minta untuk ikut mendampingi dalam hal memenuhi hak-hak anak. Kami tidak minta uang, tapi pikiran dan kebijakan yang kami butuhkan. Terkadang kami harus patungan untuk memenuhi hak korban. Saat menerima penghargaan, mereka berbondong-bondong, tapi implementasi di lapangan tidak ada," ungkapnya tegas.
Anak yang berhadapan dengan hukum sangat membutuhkan pendampingan. Sayangnya, Dinsos P3AP2KB yang seharusnya berperan aktif, justru kerap tidak menunjukkan empati dalam kasus-kasus yang membutuhkan kehadiran mereka.
"Sebenarnya, kalau mereka tidak ada pun kasus tetap bisa kami tangani. Tapi kami ingin koordinasi. Ini seperti mereka tidak punya peran sebagai pendamping dan tidak ada empati," lanjutnya.
Begitu juga dengan Erma Indah Fitriana, selaku Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) dari Kemensos RI, yang setiap hari berhadapan langsung dengan berbagai kasus anak. Menurut Indah, selama ini ia bekerja tanpa dukungan nyata dari Dinsos P3AP2KB, meskipun OPD tersebut seharusnya menjadi mitra utama dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak.
Kondisi yang sudah berlangsung lama itu terpaksa ia ceritakan mengingat pekerjaan yang dilakoni sangat membutuhkan dukungan dan sentuhan kebijakan dari seorang kepala Dinsos P3AP2KB khususnya pada Bidang Pelayanan Perempuan dan Anak.
Indah mengungkapkan bahwa dalam menangani kasus perempuan dan anak, ia harus terjun langsung ke lapangan. Mengingat Kepulauan Meranti terdiri dari wilayah perairan dan pulau-pulau kecil, mobilitas tinggi sangat dibutuhkan untuk memberikan pendampingan yang efektif. Namun, tantangan terbesar yang dihadapinya bukan hanya medan yang sulit, melainkan minimnya dukungan dari pemerintah daerah.
Karena tidak adanya dukungan yang bersifat moral dan materil, Indah harus bersusah payah dalam melakukan proses penanganan terhadap anak di lapangan. Tidak jarang, Indah harus merogoh saku untuk membiayai semua itu meskipun hingga saat ini belum ada diganti.
“Untuk turun ke lapangan saja, saya harus menggunakan biaya pribadi. Padahal, hak anak sudah dianggarkan dan tercatat dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) yang berasal dari APBN melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) kurang lebih Rp 600 juta. Tapi setiap kali diminta, mereka selalu mengatakan bahwa anggaran tidak ada,” ujar Indah.
Ironisnya, bukan hanya anggaran yang tidak disalurkan sesuai peruntukan, prioritas penggunaan dana di Dinsos P3AP2KB pun patut dipertanyakan. Alih-alih mengalokasikan anggaran untuk pemenuhan hak anak dan pendampingan korban kekerasan, dinas tersebut justru hanya menganggarkan uang saku bagi pendamping bagi petugas lainnya seperti pegawai honorer.
Indah selaku pekerja sosial yang bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam melakukan penanganan kasus anak, merasa malu dengan tidak adanya dukungan dari OPD terkait.
"Saya sangat membutuhkan support sistem dari OPD. Saat ini saya merasa malu dengan pihak kepolisian, saya sudah pasang badan jadi tameng jaga nama baik dinas depan institusi yang melakukan penyelidikan tapi malah tidak ada dukungan," ungkapnya lagi.
Tidak hanya soal konsumsi dan transportasi saat pendampingan. Pekerja Sosial itu juga kecewa dengan adanya hak-hak anak yang belum terpenuhi seperti pendampingan Psikolog, visum dan lainnya, padahal anggarannya tertera jelas dalam DPA dan hal itu juga tercantum dalam undang-undang.
"Saya sangat kecewa karena adanya hak-hak anak yang tidak terpenuhi saat dilakukan pendampingan, padahal anggarannya jelas dalam DPA, selain itu masalah ini juga bagian dari amanat undang-undang," tuturnya.
Indah, seorang pekerja sosial yang diutus oleh Kementerian Sosial, terpaksa angkat bicara mengenai buruknya sistem kerja serta ketidakefektifan penggunaan anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk korban kekerasan oleh Dinsos P3AP2KB.
Indah menyarankan agar Pemerintah Daerah segera melakukan investigasi terkait dugaan maladministrasi dan kelalaian dalam penanganan kasus anak dan perempuan. Menurutnya, investigasi ini harus melibatkan kepolisian dan kejaksaan agar permasalahan menjadi jelas dan dirinya tidak terus-menerus disalahkan.
"Saya hanya pekerja sosial yang diutus oleh kementerian untuk menangani kasus anak dan perempuan. Saya tidak punya kepentingan lebih jauh dalam pekerjaan ini. Saya juga tidak memegang anggaran seperti mereka, lalu mengapa saya terus yang disalahkan?" tegasnya.
Indah juga menekankan bahwa dirinya bekerja berdasarkan keahlian dan kompetensi, bukan untuk mencari keuntungan pribadi.
"Saya tak punya uang, saya hanya punya tenaga dan keahlian di bidang ini. Saya bukan ASN, saya hanya ingin memastikan kebutuhan anak-anak korban kekerasan terpenuhi. Saya tak mau terus-menerus meminta hak mereka seperti seorang pengemis," ujarnya.
Menurut Indah, semua kebutuhan korban yang ia ajukan telah melalui asesmen yang tepat, bukan sekadar permintaan tanpa dasar. Namun, banyak dari kebutuhan dasar korban tidak dianggarkan, sehingga pihak kepolisian sering terpaksa menggunakan uang pribadi untuk menutupinya.
"Anggaran dari Dana Alokasi Khusus (DAK) ada di UPT dan seharusnya juga bisa digunakan oleh Bidang PPA untuk kebutuhan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), korban, saksi, pelaku KDRT, anak terlantar, pelecehan, dan lainnya. Pertanyaannya, siapa yang menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) hingga hak-hak korban seperti visum malah tidak dianggarkan?" katanya.
Bahkan, untuk pembayaran psikolog bagi korban kekerasan, sebagian harus ditanggung menggunakan uang pribadi pihak kepolisian karena tidak adanya dukungan dari Dinsos P3AP2KB.
Indah juga mengkritik prioritas kerja yang lebih condong ke kegiatan seremonial dibandingkan dengan pendampingan korban yang seharusnya lebih diutamakan.
"Mereka lebih suka mengadakan kegiatan seremonial untuk pencitraan ketimbang memenuhi hak anak yang sangat wajib dipenuhi. Bahkan, surat tugas saya tidak dikeluarkan, dan saya hampir dilaporkan ke kepolisian hanya karena memperjuangkan hak anak-anak ini," ujarnya.
Bukan hanya itu, akses terhadap fasilitas negara juga dipersulit. Indah mengungkapkan bahwa dirinya bahkan tidak diizinkan meminjam mobil dinas untuk mengantar korban ke lokasi pendampingan.
"Mau minjam mobil untuk antar korban saja dipersulit. Fasilitas negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan korban malah dikunci rapat," tegasnya.
Alih-alih terjun langsung dalam pendampingan korban, mereka justru lebih banyak bermain di ranah administratif yang tidak jelas.
Indikasi ini semakin kuat setelah muncul fakta bahwa sertifikasi milik Erma Indah Fitriana sebagai Sakti Peksos dari Kemensos RI, digunakan sebagai salah satu syarat untuk meningkatkan pencapaian bidang tersebut. Namun, ironisnya, Indah sendiri tidak pernah dianggap sebagai bagian dari mereka.
"Mereka hanya minta data saja untuk melengkapi syarat yang dicatat sebagai kinerja mereka, tetapi tidak pernah mau turun saat Restorative Justice dan Diversi," ujar Indah.
Restorative Justice dan Diversi merupakan pendekatan dalam sistem hukum yang menekankan penyelesaian kasus tanpa harus membawa anak ke pengadilan. Dalam praktiknya, pendekatan ini membutuhkan peran aktif dari Dinas Sosial sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pemenuhan hak anak. Namun, yang terjadi di Meranti justru sebaliknya—pendampingan lebih banyak dilakukan oleh Indah seorang diri.
"Artinya jumlah kasus yang mereka laporkan tidak sesuai dengan jumlah yang mereka dampingi. Seharusnya mereka yang memberdayakan saya sebagai pekerja profesional, bukan saya yang malah sibuk karena tugas itu ada di mereka," tegasnya.
Fakta ini semakin memperjelas bahwa laporan kinerja yang dibuat oleh Bidang PPA di Dinsos P3AP2KB tidak mencerminkan realitas di lapangan. Jika administrasi yang dibuat hanya bertujuan untuk mendapatkan pengakuan tanpa tindakan nyata, maka hal ini bukan sekadar kelalaian, melainkan pembohongan publik.
Penulis : Ali Imroen
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
BERITA LAINNYA |
|
|
Masuki Tahap Akhir, Restu Komdigi Soal Merger XL-Smartfren Diputuskan Maret
 Usai Dilantik Presiden, Asmar-Muzamil Segera Tunai Janji Program Prioritas Bangun Kepulauan Meranti, Meski Ada Efisiensi Anggaran
 Jalin Silaturahmi Bersama BEM ITP2I, Ini Kata Kapolres Pelalawan
 Jelang Purna Jabatan, OPP Teluk Belitung Gelar Open Turnamen Futsal Piala Pemuda ke-2 Tahun 2025
 Lawan Arah di Tol Pekanbaru-Dumai, Sopir Pikap Bawa Durian Ditilang
 |
|
Retret Kepala Daerah di Akmil Magelang, Gubri: Bupati Pelalawan Absen, Bengkalis Hadir
 Kodam Baru di Riau Siap Berdiri, Pangdam I/Bukit Barisan Umumkan Rencana Pemekaran
 Pemko Pekanbaru Gencar Perbaiki Jalan di Tengah Instruksi Efisiensi Anggaran Presiden
 Pelantikan Kepala Daerah Serentak, Driver Ojol Ngaku Banjir Orderan
 Sinergi Swasta dan Pemerintah: PT ITA Rampungkan Perbaikan Infrastruktur Pelabuhan Kuala Asam
 |
Komentar Anda :