Meski Tak Dianggap, Anak Suku Akit Dusun Bandaraya Ikut Meriahkan Hari Jadi Meranti
SELATPANJANG - Tidak Dianggap. Begitulah anggapan yang disematkan kepada anak- anak Suku Akit di Dusun Bandaraya Desa Sokop Kecamatan Rangsang Pesisir.
Bagaimana tidak, mereka yang belajar di SDN 12 Sokop Lokal Jauh ini seperti tidak diperhatikan oleh Pemerintah Daerah. Selain infrastruktur jalan di dusun itu tidak memadai, sarana dan prasarana pendidikan di dusun yang ditempati mayoritas Suku Akit itu tampak sangat menyedihkan.
Hanya semangat belajar yang tinggi dan adanya guru yang begitu ikhlas membagi ilmu kepada siswanya yang tinggal di sana, akhirnya bantuan pun datang.
Namun bantuan itu bukan datang dari pemerintah setempat, melainkan dari organisasi dari luar seperti yayasan dan Dompet Duafa.
Sekolah Lokal Jauh ini terdiri dari 5 ruangan semi permanen yang dilengkapi meja, kursi bantuan dari pihak luar dan warga setempat.
Disini hanya ada satu guru yang berstatus PNS, dia adalah Riyati. Dia lolos seleksi K-II. Riyati yang berasal dari Desa Tebun akhirnya pindah ke Desa Sokop dengan nota dinas pendidikan Kepulauan Meranti, Riyati kini menetap di dusun Bandaraya bersama suami dan anaknya.
Riyati dibantu oleh tiga orang guru honorer, terkadang mereka juga mendapat bantuan tenaga pengajar dan konsultan Relawan Sekolah Literasi Indonesia untuk mendampingi sekolahnya melalui Program Dompet Dhuafa.
Pada hari jadi Kabupaten Kepulauan Meranti ke-11 tahun, anak- anak Suku Akit yang mengenyam pendidikan di sekolah ini ikut berkontribusi memeriahkan. Tidak seperti anak sekolah lainnya, mereka tampil bermain drama di panggung di halaman Kantor bupati dengan penuh suka cita.
Anggi Renaldy mahasiswa Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung dan Miqdat dari jurusan Kelautan Institut Pertanian Bogor yang meraih program beasiswa Bina Nusantara Dompet Duafa mendapatkan kesempatan untuk menjadi bagian dari tenaga pendidik bagi anak Suku Akit di Dusun Bandaraya.
"Hari ini mereka tampil disini untuk merayakan HUT Kepulauan Meranti. Itu artinya pendidikan masih menyala, pendidikan masih sangat dihargai dan anak Bandaraya bisa berkontribusi walaupun mereka berada jauh dari pelosok desa," kata Anggi Renaldy.
Lebih lanjut diceritakan Anggi, dirinya merasa sedih ketika menginjak kaki pertama kalinya di tanah Dusun Bandaraya dan melihat infrastruktur pendidikan yang jauh dari kata layak.
"Saya yang menempuh pendidikan di Pulau Jawa sudah sangat bersyukur ketika melihat keadaan di sini, infrastrukturnya kurang dan tidak memadai dan untung saja anak- anak punya semangat tinggi untuk belajar," ujar Anggi.
Dikatakan, ketika hari mendung tiba, kondisi kelas sangat gelap karena tidak adanya lampu penerangan.
"Kalau hari mendung, ruangan kelas menjadi gelap dan tidak bisa mengajar, karena di sini belum terkoneksi jaringan listrik begitu juga dengan rumah warga yang hanya mengandalkan mesin genset," kata Anggi.
Selain masalah infrastruktur, masalah lainnya adalah kurangnya tenaga pendidik, dimana satu guru bisa mengajar dua kelas.
Mahasiswa ITB ini punya harapan kepada pemerintah daerah agar infrastruktur pendidikan di dusun ini segera diperbaiki demi menjamin masa depan anak bangsa.
"Harapan kami kepada pemerintah daerah agar pembangunan sektor pendidikan menjangkau wilayah seperti ini. Tinggal infrastruktur saja, kalau untuk tenaga pendidik dan volunteer sering diarahkan kesini," ungkapnya.
Saat ini, relawan dari Dompet Duafa ini sedang menggalang donasi untuk lembaga pendidikan tersebut melalui paltform Kita bisa.com/ Pelita Ilmu Sagu.
Sementara itu, Riyati yang menjadi pencetus sekolah lokal jauh itu mengatakan jika dirinya tidak mau berharap banyak lagi terhadap Dinas Pendidikan. Menurutnya sudah berulang kali mengajukan bantuan melalui proposal, namun demikian belum pernah ditanggapi.
"Sudah banyak kali kirim proposal, tapi belum ada tanggapan," ujarnya.
Terhadap penampilan 23 orang siswa sekolah tersebut untuk memeriahkan hari jadi kabupaten, mereka kembali dihadapkan dengan tidak adanya kepedulian pemerintah ataupun dinas terkait untuk melihat aksi mereka.
Dimana saat tampil, tidak ada satu orang pun pejabat yang menyaksikan mereka mementaskan kejadian sesungguhnya yang mereka alami setiap harinya. Hal ini pun terlihat bertambah menyedihkan ketika mereka hanya bertepuk tangan satu sama lain ketika pementasan berakhir, tanpa diikuti oleh penonton lain.
"Jarang-jarang mereka kemari, pas peforma malah tak ada yang nonton terutama pejabat, padahal waktunya sudah diatur sedemikian rupa," cetus Riyati.
Penulis : Ali Imron
Editor : Fauzia
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :