SELATPANJANG - Sejak puluhan tahun lalu, tepung sagu asal Kepulauan Meranti dibawa ke Cirebon, Jawa Barat. Sagu asal Kepulauan Meranti memang menjadi primadona untuk memenuhi kebutuhan di Pulau Jawa.
Tepung sagu yang dikirim mencapai 1.500 ton perbulannya, disana sagu ditumpuk dan ditampung oleh pengepul. Namun belakangan ini para pengusaha sagu menjerit dikarenakan turun naiknya harga sagu ditentukan dan dimainkan oleh para pengepul. Kondisi semakin parah karena pengusaha masih terjebak sistem ijon.
"Kami terpaksa menjual kesana, dan kami pun tidak bisa berbuat banyak, karena para pengepul disana berani mengambil dalam partai besar, selain itu Meranti yang punya sagu, namun yang menentukan harga orang di Jawa sana. Kalau ada pengepul yang lain, kami tidak akan menjualnya lagi ke Cirebon," kata Atan, salah satu pengusaha sagu.
Cerita lain juga disampaikan oleh pengusaha kilang lainnya Ping Cheng, dia mengatakan bahwa antara kilang dan pengepul di Cirebon sudah terikat kontrak, dimana uang akan dikirim dahulu, sedangkan tepung sagu bisa menyusul kemudian.
"Kalau sedang lancar, sagu belum ditebang dan belum diolah, mereka sudah bayar, kita seperti berhutang jadinya, tapi kita juga bingung kalau tidak ke Cirebon kita mau jual kemana," kata Ping Cheng.
Harga yang diatur oleh penampung tepung sagu di Pulau Jawa ternyata memberi dampak yang signifikan, dimana dampak tersebut yakni mempengaruhi harga tepung sagu lokal yang dijual eceran.
Hal ini juga dikeluhkan oleh para pengusaha UKM, mereka mengeluhkan mahalnya bahan baku untuk membuat berbagai olahan makanan. Seperti yang dikeluhkan Aminah, salah seorang pengolah mie sagu.
"Kita yang menjadi pengusaha kecil ini menjadi imbas naiknya bahan baku, dimana tepung sagu perkarung berat 50 kg bulan lalu hanya Rp260 ribu sekarang naik menjadi Rp320 ribu, itu terus terjadi kenaikan. Sekarang ini jadi bingung apakah harga mie sagu ini ikut dinaikkan atau tidak," kata Aminah, salah satu pengusaha UKM mie sagu. Tidak Bisa Ikut Campur Kepala Disperindagkop UKM Kabupaten Kepulauan Meranti, M Azza Fachroni mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa ikut campur terkait permasalahan harga yang sejak dahulu ditentukan oleh pengepul di Pulau Jawa.
"Ini sudah berlaku sejak lama, namun kita tidak bisa mengintervensi mereka. Dahulu kita pernah mencoba untuk memfasilitasi hal ini guna menekan harga, namun sikap antara kedua belah pihak yang terkesan tertutup membuat hal ini susah untuk dilakukan," kata Azza, Kamis, (13/9/2018).
Sementara itu solusi yang pernah dilakukan dinas terkait adalah dengan menggandeng pihak Badan Umum Logistik (Bulog).
"Kita sudah pernah menjajaki kepada pihak Bulog dan sagu kita diambil alih pemasarannya, hal ini agar harga sagu bisa stabil. Namun hal ini belum bisa dilakukan karena sagu belum menjadi kebutuhan pokok nasional, untuk itu Pemerintah daerah kita sering menggencarkan hal ini dengan berbagai kegiatan seminar dan festival agar sagu ini bisa menjadi komoditas pangan strategis nasional," kata Azra lagi.
Sementara itu, anggota Komisi B DPRD Kepulauan Meranti, Dedi Putra mengatakan pihaknya sudah menggesa Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Pembangunan Industri Kabupaten (RPIK) agar pengolahan sagu menjadi terpusat dan para pengusaha tidak lagi ada ketergantungan mendistribusikan sagu ke Pulau Jawa.
"Kita sudah lama persiapkan dan menggesa Perda RPIK, hal ini merupakan langkah untuk membantu mereka terlepas dari sistem yang saat ini sedang dijalani. Hal itu juga akan melepas ketergantungan para pengusaha sagu menjual ke Cirebon, karena sistem pengolahan sagu akan terpusat di sini, jadi mereka tidak perlu jauh jauh mendistribusikan sagu ke Pulau Jawa, maka dengan begitu harga tidak bisa diatur atur," ungkap Dedi Putra.
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda)