Kasus Korupsi Pembangunan Hotel Kuansing, Ada 10 Poin Penting Disampaikan Eks Kepala Bappeda
KUANSING - Eks Kepala Bappeda Kabupaten Kuansing 2011- 2013, Hardi Yakub saat ini terdakwa pada kasus dugaan korupsi pengadaan tanah pembangunan Hotel Kuansing. Kamis (15/2/2024), ia telah menyampaikan eksepsi atau keberatannya pada sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor PN Pekanbaru.
Melalui Ketua tim Penasehat Hukumnya, Riski JP Poliang, Jumat (16/2/2024) di Teluk Kuantan, ada 10 poin keberatan yang disampaikan dalam eksepsi tersebut.
Pertama, surat dakwaan jaksa penuntut umum melanggar ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP. Karena surat dakwaan JPU tidak memuat nama terdakwa dengan benar. Sehingga ia mempertanyakan siapa sebenarnya orang yang dimaksud JPU dalam dakwaannya, apakah itu kliennya atau bukan.
Kedua, Jaksa Penuntut Umum tidak menyerahkan surat dakwaan dan turunan berkas perkara lengkap kepada terdakwa / penasihat hukumnya sesuai Pasal 143 ayat (4) KUHAP. Karena Terdakwa / Penasihat Hukumnya beru menerima Surat Dakwaan sehari setelah pelimpahan dilakukan, dan turunan berkas perkara lengkap baru diterima Terdakwa / Penasihat hukumnya sehari setelah sidang pertama digelar.
Ketiga, JPU telah mengubah surat dakwaan tidak sesuai dengan ketentuan pasal 144 KUHAP, dimana JPU melakukan perubahan surat dakwaannya telah melewati batas waktu tujuh hari sebelum sidang pertama dimulai, sedangkan dalam hal ini JPU mengubah dakwaannya pada saat sidang pertama digelar, tentu ini melanggar kuhap.
Hal serupa juga pernah terjadi beberapa waktu lalu di pengadilan tindak pidana korupsi pada pengadilan negeri Bengkulu, dimana hakim melalui putusan Nomor 57/Pid.Sus-TPK/2023/PN Bgl mengabulkan eksepsi penasihat hukum dan menyatakan tindakan perubahan surat dakwaan yang telah melewati batas waktu ditentukan adalah hal yang melanggar hukum.
Keempat, Pengadilan Tipikor Pekanbaru tidak berwenang mengadili perkara a quo, dikarena Hardi Yakub merupakan seseorang yang berkedudukan sebagai badan dan/atau pejabat pemerintahan. Sehingga terkait apapun tindakannya/kebijakannya yang dianggap melanggar hukum merupakan tindakan administrasi pejabat pemerintahan.
Sehingga haruslah diuji terlebih dahulu salah tidaknya tersebut melalui mekanisme TUN, bukan ujuk-ujuk dibawa ke pengadilan tipikor, karena boleh jadi tindakan/kebijakan Hardi Yakub adalah kesalahan administrasi.
Kelima, dakwaan JPU tidak menguraikan secara jelas tentang tempat dan waktu terjadinya tindak pidana, hal ini bertentangan dengan ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dan Surat Edaran Jaksa Agung No. 004/J.A/11/1993;
Keenam, JPU dalam menyusun surat dakwaannya telah salah dalam menggunakan dasar hukum yang telah dicabut dan tidak berlaku, dimana JPU menyatakan terdakwa telah melanggar UU No. 17 tahun 2013 tentang Keuangan Negara, padahal sesungguhnya UU tersebut bukanlah tentang UU Keuangan Negara melainnkan UU tentang Ormas.
Ketujuh, Surat Dakwaan Jaksa Penuntut umum kabur (obscuur libel), karena tidak disusun secara cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan, yaitu terjadi pertentangan-pertentangan dalam dakwaannya sehingga sangat kabur dalam kapasitas apa Hardi Yakub dipersalahkan, apa perannya dan bagaimana peran itu dilakukan, apa akibatnya, semua hal itu tidak diuraikan secara cermat dan jelas oleh JPU.
Kedelapan, dakwaan JPU cacat hukum karena menggunakan LHP BPKP yang diterbitkan setelah dilakukannya proses penyidikan, hal ini jelas menyalahi hukum, karena audit penghitungan kerugian negara seharusnya terbit terlebih dahulu sebelum adanya proses penyelidikan, hal ini sejalan dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor : Perja-039/A/JA/10/2010 tanggal 29 Oktober 2010 yang menyatakan bahwa Hasil Audit BPK RI/BPKP merupakan sumber penyelidikan.
Kesembilan, peran Hardi Yakub yang diuraikan oleh JPU dalam dakwaannya adalah menjalankan perintah Sukarmis selaku Bupati saat itu. Jika perintah tersebut adalah hal yang melanggar hukum, maka tidak seharusnya penerima perintah saja yang ditarik menjadi terdakwa, seharusnya sukarmis selaku pemberi perintah juga ditarik menjadi terdakwa dalam perkara ini.
Seperti diketahui, Hardi Yakub selaku mantan Kepala Bapeda Kuansing ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Kuansing pada November 2023 lalu bersama mantan Kabag Pertanahan Setda Kuansing, Suhasman.
Hardi Yakub dan Suhasman diduga terlibat melakukan tindak pidana korupsi pada proyek pengadaan lahan pembangunan hotel Kuansing yang menggunakan APBD Kuansing tahun 2014.
Penulis: Ultra Sandi
Editor: Riki
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :