PEKANBARU - Konflik sengketa lahan antara PT Nusa Wana Raya (NWR) dan PT Peputra Supra Jaya (PSJ) di Desa Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan belum juga selesai. Meskipun Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan putusan, namun hal ini belum membuat perselisihan mendapatkan titik terang.
Dalam putusan terakhir yang dikeluarkan MA, melalui Putusan Tata Usaha Negara (TUN) Nomor 595 K.TUN/2020 yang menyatakan surat perintah tugas nomor 096/PPLHK/082 tanggal 10 Januari 2020 untuk pengamanan atau eksekusi lahan sawit batal atau tidak sah.
Terkait putusan tersebut, Pakar Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Dr Sadino, meminta jaksa untuk patuh dan menjalankan putusan tersebut. Sebab, dalam putusan PTUN di Mahkamah Agung tersebut sudah jelas bahwa eksekusi lahan perkebunan sawit seluas 3.323 hektare lahan perkebunan sawit tidak sah atau batal.
"Putusan itu kan jelas bunyi putusan point 1 sampai 4 putusan kasasi. Ya nggak ada lagi pelaksanaan eksekusi lapangan," ujar Sadino, Jumat (2/4/2021).
Pakar hukum jebolan Universitas Indonesia itu meminta jaksa sebagai instansi yang paham dengan hukum untuk menjalankan putusan PTUN tersebut. Jika tidak, jaksa akan dicap tidak patuh hukum.
"Yang mengerti hukum harusnya menjalankan hukum dong. Kan dasar dia eksekusi surat itu, kalau suratnya dibatalkan ya harusnya nggak bisa lagi. Masak penegak hukum yang ngajari melanggar hukum," tambahnya.
Mahkamah Agung sebelumnya memutuskan agar lahan perkebunan seluas 3.323 hektare milik PT PSJ dan masyarakat untuk dieksekusi. Namun, seiring dengan penolakan yang dilakukan masyarakat, MA memutuskan bahwa surat putusan mengenai eksekusi itu dibatalkan, dan eksekusi lahan yang telah berjalan harus dihentikan.
Sisa lahan milik masyarakat seluas 1.323 agar tidak dieksekusi. Karena sebelumnya jaksa dikawal polisi kompak meratakan lahan PT Peputra Supra Jaya. Lahan 2.000 hektare milik PT PSJ yang merupakan induk para petani itu sudah habis dibabat jaksa.
Usai dieksekusi, lahan itu diserahkan ke PT Nusa Wana Raya (NWR) lalu ditanami akasia oleh perusahaan tersebut. Puluhan alat berat yang difasilitasi PT NWR digunakan untuk mengeksekusi.
Dr Sadino yang juga merupakan Penasehat Hukum Gapki itu mengatakan dalam persoalan ini hanya PT PSJ yang dinilai tunduk terhadap putusan. Sebab dalam putusan pidana dari MA PT PSJ yang menjadi terdakwa.
Menurutnya, Putusan Mahkamah Agung RI No 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 tertanggal 17 Desember 2018 yang berisi tentang instruksi mengembalikan lahan kepada negara melalui Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Provinsi Riau itu melanggar UU Perkebunan bukan UU Kehutanan. Kemudian PT PSJ diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan sesuai UU Perkebunan.
"Putusan eksekusi itu hanya lahan PSJ sesuai putusan. Kemudian mengapa lahan masyarakat atau koperasi mau dieksekusi. Harusnya penetapan eksekusi dan pelaksanaannya dilakukan inventarisasi terlebih dahulu mana lahan PSJ dan mana lahan masyarakat," tuturnya.
Menurut pria yang mengenyam S3 di Universitas Katolik Parahyabgan Bandung beberapa waktu lalu itu, seharusnya pemegang izin HTI yang dalam hal ini adalah PT NWR harus menghormati hak pihak lain dan mengganti rugi. Bukan justru malah menggusur dan menerima hasil eksekusi.
"Perlu diteliti izin HTInya. Karena disana ada HTI transmigrasi berarti ada masyarakat yang dihadirkan oleh pemerintah yang menjadi kewajiban pemegang izin HTI," ujarnya tegas.
Sadino menambahkan, peserta transmigrasi memiliki lahan untuk permukiman dan lahan usaha yg disediakan pemerintah. Sementara dalam perkara ini tidak dikaji lebih dalam.
"Pemerintah dan pemegang izin harusnya menghormati hak keperdataan dari masyarakat sebagai living law. Untuk proses eksekusi yang bisa dilakukan, tentunya berlaku bagi pihak yang berperkara dan yang dihukum. Bukan orang yang tidak diputus dalam kasus pidana," pungkasnya.
Penulis : Bayu
Editor : Fauzia
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :