PEKANBARU - Konflik lahan perkebunan antara masyarakat di tiga kecamatan di Siak dengan PT Duta Swakarya Indah (DSI) menjadi sorotan Komisi II DPRD Riau.
Sekretaris Komisi II DPRD Riau Husaimi Hamidi mengatakan, pihaknya telah memanggil PT DSI untuk rapat dengar pendapat (RDP) pekan lalu. Namun, pihak perusahaan itu tidak hadir.
Karena itu, para legislator menganggap PT DSI tidak memiliki itikad baik serta tidak menghargai pemerintah tempat mereka beroperasi.
Legislator pun menyorot Hak Guna Usaha (HGU) PT DSI dan perusahaan-perusahaan lain yang berkonflik dengan masyarakat.
Seringnya, jelas Husaimi, perusahaan sudah menggarap lahan hanya bermodalkan izin operasional dan izin perkebunan walaupun HGU masih dalam pengurusan.
Akibatnya, HGU tak sesuai dengan kondisi di lapangan sebab di banyak kasus luas lahan yang ditanam secara ril dan di dalam HGU sudah berbeda. Inilah yang kemudian bergesekan dengan masyarakat.
"Harusnya secara logika kita, HGU itu persyaratan wajib membuka kebun untuk mengetahui titik koordinatnya. Kalau seperti ini kasihan masyarakat, mereka hanya mencari makan kok," kata dia, Rabu (19/7/2023).
Wakil Ketua Komisi II DPRD Riau Zulfi Mursal juga menyayangkan konflik antara PT DSI dan masyarakat tersebut. Bahkan kasus ini disebutnya sudah menjadi perhatian Panja Pemberantasan Mafia Pertanahan Komisi II DPR RI.
"Ini yang kita sayangkan kadang-kadang perusahaan ini dengan kekuatan ekonominya dia bisa membayar orang untuk menakut-nakuti masyarakat entah itu dari oknum APH (Aparat Penegak Hukum), premanisme dan sebagainya kita tak tahu," kata dia.
Tak tanggung-tanggung, persoalan ini disebut Zulfi sudah disampaikan oleh Komisi II DPR RI ke Kapolri.
Menanggapi itu, Direktur PT DSI, Misno, menganggap permasalahan ini telah digiring ke opini yang menyudutkan pihaknya saja. Sementara keadaan sebenarnya di lapangan, kata dia, berbeda dari apa yang diberitakan.
Menurut Misno, masalah sebenarnya ada hubungannya dengan PT Karya Dayun. Sehingga sebenarnya ini bukan sengketa antara masyarakat dengan PT DSI, melainkan dengan PT Karya Dayun.
Ia menceritakan bahwa persoalan bermula ketika PT DSI bermasalah dengan PT Karya Dayun terkait sengketa 1.300 hektare lahan perkebunan antara kedua belah pihak di tahun 2012.
Kasus ini, katanya, diselesaikan lewat jalur hukum di pengadilan. Setelah melalui proses hukum, tahun 2015 kasus ini inkrah dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang amar putusannya menyerahkan kepemilikan lahan kepada PT DSI.
"Kami dimenangkan MA terkait lahan ini. Dalam putusannya, PT DSI juga diminta membayar ganti rugi tanaman sekitar Rp 26 miliar. Uang tersebut sudah kami titipkan di pengadilan. Jadi kasus ini clear dan sudah berkekuatan hukum," tegas Misno.
Maka itu, Misno menganggap aneh jika ada masyarakat yang tiba-tiba muncul dengan sertifikat atas lahan tersebut pasca putusan MA akan dieksekusi.
"Semuanya memiliki lahan di atas 50 hektare. Anehnya lagi, dari 23 nama pemilik sertifikat terdiri dari satu keluarga. Bahkan ada anak yang baru berusia 13 tahun sebagai pemilik sertifikat, atas nama Wilson Laurent," pungkasnya.
Melihat hal ini, PT DSI kemudian mengajukan pembatalan atas sertifikat tersebut. Permohonan itu, kata Misno, telah direspon Badan Pertanahan Negara (BPN) Siak.
"Melalui rapat kordinasi dengan melibatkan semua unsur terkait, BPN Siak setuju dilakukan pembatalan atas sertifat itu, karena memang banyak kejanggalan dan bukan pada titik kordinat yang disengketakan," paparnya.
Dalam perjalanannya, Misno melanjutkan, Komisi II DPR RI melalui Kelompok Kerja (Pokja) yang dipimpin Junimart Girsang, keberatan dengan putusan ini, karena dianggap PT DSI sebagai mafia tanah.
Hal ini kemudian berlanjut di DPRD Riau yang menarasikan hal yang sama, yaitu PT DSI telah merugikan masyarakat dan bertindak sebagai mafia tanah.
"Kami benar-benar merasa dirugikan. Padahal kami hanya ingin menegakkan putusan pengadilan. Saya khawatir Komisi II tidak mendapatkan informasi yang benar dan rinci atas kasus ini. Apalagi keberatan pemilik sertifikat ditolak pengadilan. Kami tidak ingin muncul anggapan putusan MA sebagai lembaga peradilan di negara ini tidak dihormati. Kemana lagi kita mencari keadilan?" pungkasnya.
Penulis: Rinai
Editor: Riki
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :