Banyak Orang Terdekat Pelaku Pencabulan Anak di Riau, Pakar: Faktor Keluarga Tidak Harmonis
PEKANBARU- Polisi beberapa kali mengungkap kasus pencabulan anak di Provinsi Riau selama September 2022 ini. Seperti Polres Siak yang menangkap KM (45) dan putranya RK (20) yang ditangkap mencabuli dua bocah berusia enam tahun dan tiga tahun.
Padahal keduanya merupakan cucu dan keponakan kedua pelaku sendiri. Kakek dan paman bejat itu telah melakukan perbuatan kejinya sejak Februari hingga April 2022 lalu di rumahnya.
Lalu di Indragiri Hulu (Inhu) terungkap ada Ros (bukan nama sebenarnya) jadi korban pencabulan ayah kandungnya sejak Juli 2022. Gadis 12 tahun itu mengadu ke teman. Dari curhat itu kemudian berujung pad apelaporan ke polisi atas perbuatan tak senonoh ayah kandungnya.
Kemudian Sabtu (17/9/2022), Polres Rohil menangkap seorang ayah tiri. Pria berinisial DW (49) itu mencabuli anak tirinya. Hal itu terungkap setelah abang korban mendapati ada foto tak senonoh di ponsel adiknya bersama ayah tirinya tersebut.
Dikutip dari antarariau.com, Erdiansyah, pakar sekaligus pengamat hukum dan kriminal beranggapan tingginya kasus kekerasan seksual dalam keluarga khususnya pada anak bisa didasari atas faktor internal dan eksternal. Faktor utama yaitu ketidakharmonisan dalam keluarga.
Seperti pertikaian antara suami dan istri, pendekatan tidak harmonis pada anak hingga tekanan dari luar bisa memicu terjadinya perbuatan keji dari orang terdekat terhadap seorang anak. "Ini kasus yang cukup marak, dimana kebanyakan dilakukan oleh orang terdekat seperti ayah, paman dan kakek. Saya lihat memang faktor terdekat itu karena ketidakharmonisan dari keluarga itu sendiri," sebut Erdiansyah saat dihubungi via ponsel, Jumat (23/9/2022).
Kemudian pengetahuan dan pendidikan dari keluarga juga berpengaruh. Apalagi peristiwa seperti itu dominan terjadi di daerah, bukan di perkotaan. Sehingga tidak adanya tempat hiburan berdampak seseorang melampiaskan hasrat seksualnya pada orang terdekat.
Kemudian akses mudah situs-situs bermuatan pornografi yang bertebaran di internet juga jadi faktor. "Fenomena ini juga dapat terjadi karena pengaruh teknologi. Bagaimana kini seseorang bisa dengan mudahnya mengakses muatan pornografi, berbeda dengan jaman dulu," terangnya sebut Erdiansyah.
Maka itu pihak-pihak berkepentingan seperti pemerintah, sangat diperlukan terhadap implementasi UU Perlindungan Anak sebab di dalamnya jelas mengkaji pasal 82 dan pasal 76 E disebutkan anak harus diberikan perlindungan baik dari tindak pidana kekerasan seksual maupun pencabulan.
Pendampingan psikolog untuk memulihkan kembali mental anak yang menjadi korban kekerasan seksual dalam keluarga juga harus terus dilakukan. Sebab korban wajib dilindungi oleh negara.
"Kedudukan korban jelas. Anak yang harusnya dilindungi, malah mendapatkan perilaku tak senonoh dari orang terdekat. UU perlindungan anak sudah memberikan fasilitas kepada negara untuk melindungi korban," sebutnya.
Sayangnya, terkadang korban yang menceritakan kejadian itu ke ibu atau kakaknya, pendengar cerita malah tidak percaya pada aduan itu. Bahkan tak jarang pula pihak keluarga menutup-nutupinya dengan dalih aib keluarga.
Mengingat kasus pencabulan tidak berada dalam delik aduan melainkan delik biasa, sehingga Erdiansyah menilai bila keluarga seakan menutupi kasus itu, harusnya negara yang mengambil peran dalam penyelesaiannya.
"Sekiranya pemerintah setempat dapat membawa korban ke ahli psikologi untuk melihat perkembangan anak ini sehingga dapat bercerita apa adanya, apa yang menjadi penyebab dan apa yang dialaminya ketika itu," saran Erdiansyah. (*)
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :