Sembahyang Bersama dan Ziarah ke Makam Tanpa Nama Jadi Puncak Ceng Beng di Pekanbaru
PEKANBARU - Perwakilan Ormas Tionghoa dan lembaga Agama Buddha di Pekanbaru melaksanakan sembahyang bersama di puncak peringatan Ceng Beng (Qing Ming) atau ziarah kubur, Rabu (5/4/2023). Dilanjutkan ziarah ke makam yang tidak diketahui identitas dan ahli warisnya di Pemakaman Tionghoa Umban Sari.
Sembahyang Ceng Beng bersama dipimpin Ketua Yayasan Sosial Panca Bhakti Abadi Pekanbaru, Toni Sasana Surya. Terdapat persembahan buah-buahan, daging, telur dan kue.
"Ceng Beng merupakan salah satu tradisi penting bagi masyarakat tionghoa. Tradisi merupakan perwujudan sikap masyarakat tionghoa yang menghormati leluhurnya. Puncak ceng beng jatuh pada tanggal 5 april. Namun warga tionghoa sudah bisa ziarah kubur 10 hari sebelum tanggal 5 april dan 10 hari setelahnya," kata Toni Sasana Surya.
Sementara itu, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Riau, Stephen sanjaya mengatakan, tradisi Ceng Beng lebih ramai dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Setelah tiga tahun dilanda covid-19, tradisi Ceng Beng kembali dibuka untuk umum. Warga tionghoa dari perantauan pulang ke kampung halaman untuk berziarah ke makam leluhur dan keluarga," tambahnya.
Dikatakannya, tidak hanya di Pekanbaru, pemakaman Tionghoa di kota-kota lainnya juga ramai dipadati warga yang ingin merayakan Ceng Beng.
Ketua Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Pekanbaru, Herman Surya berharap tradisi Ceng Beng terus dipertahankan dan diperkenalkan kepada generasi muda.
"Tradisi ini sangat baik, karena salah satu bakti memuliakan leluhur. Diharapkan orangtua memperkenalkan kepada anak-anaknya," ungkapnya.
Diperkirakan puluhan ribu warga Tionghoa mendatangi Pemakaman Tionghoa Umban Sari Rumbai untuk memperingati Ceng Beng atau ziarah ke makam leluhur. Peziarah berasal dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan ada yang datang dari luar negeri.
Saat ini, di Pemakaman Tionghoa Umban Sari terdapat sekitar 4.500 makam dan 1.000 tempat abu jenazah, termasuk 60 makam tanpa identitas dan tidak diketahui ahli warisnya.
Makam Tanpa Nama
Puncak perayaan Ceng Beng dimanfaatkan juga untuk berziarah ke makam yang tidak diketahui identitas dan ahli warisnya.
Ketua Yayasan Sosial Panca Bhakti Abadi periode sebelumnya, Sidharta mengatakan, terdapat 60 makam tanpa identitas dan ahli warisnya. Satu makam berisi belasan hingga puluhan jenazah.
"Makam tanpa nama yang terdapat di pemakaman tionghoa umban sari merupakan pindahan dari makam lain, tepatnya makam tionghoa di padang terubuk sekarang jembatan leighton pada tahun 1975 lalu," katanya.
Saat itu, lanjutnya, pemerintah memberikan waktu untuk memindahkan makam ke tempat sekarang ini. Namun banyak ahli waris yang berada di kota lain tidak mengetahuinya. Menjelang waktu yang diberikan pemerintah habis, masih banyak ahli waris yang tidak datang untuk memindahkan makam keluarganya.
"Pihak yayasan membuat kebijakan untuk memindahkan makam tersebut. Terdapat ratusan jenazah yang dipindahkan pihak yayasan, banyak jenazah yang hanya tinggal tulang, karena sudah lama," tambahnya.
Saat penggalian, lanjutnya, dikumpulkan dalam satu peti. Sehingga satu peti bisa berisi belasan hingga puluhan jenazah.
"Jika ditemukan hanya tengkorak atau tulang dalam satu makam, maka muatan peti berisa puluhan jenazah. Bahkan bisa berisi 20 hingga 30 jenazah," ungkapnya.
Di momen Ceng Beng ini, sambungnya, pihak Yayasan Sosial Panca Bhakti Abadi secara rutin melaksanakan sembahyang bersama dan ziarah ke makam tanpa identitas dan tidak diketahui ahli warisnya tersebut. Termasuk ziarah ke makam-makam yang ahli warisnya tidak sempat datang.
Sejarah Ceng Beng
Mengutip berbagai sumber, tradisi Ceng Beng atau yang juga dikenal dengan Festival Qing Ming ini diperkirakan bermula sejak zaman Kekaisaran Zhu Yuan Zhang, pendiri Dinasti Ming. Zhang saat itu berasal dari keluarga yang sangat miskin.
Karena itu, ketika membesarkan dan mendidik Zhu Yuan Zhang, orangtuanya meminta bantuan kepada sebuah kuil. Saat beranjak dewasa, Zhu Yuan Zhang memutuskan untuk bergabung dengan pemberontakan Sorban Merah, sebuah kelompok pemberontakan anti-Dinasti Yuan (Mongol).
Karena ketangkasannya, dalam waktu singkat, ia berhasil mendapat posisi penting dalam kelompok tersebut. Kemudian ia menalukkan Dinasti Yuan dan berhasil jadi kaisar.
Setelah itu, Zhu Yuan Zhang kembali ke desa untuk menjumpai orangtuanya. Sesampainya di desa, ternyata orangtuanya telah meninggal dunia dan ternyata tidak diketahui keberadaan makamnya.
Untuk mengetahui keberadaan makam orangtuanya, Zhu Yuan Zhang memberi titah kepada seluruh rakyatnya untuk melakukan ziarah dan membersihkan makam leluhur mereka masing-masing pada hari yang telah ditentukan.
Selain itu, ia juga memerintahkan rakyat untuk menaruh kertas kuning di atas masing-masing makam sebagai tanda makam telah dibersihkan.
Setelah semua rakyat selesai berziarah, kaisar memeriksa makam-makam yang ada di desa dan menemukan makam-makam yang belum dibersihkan, serta diberi tanda.
Kaisar pun berziarah ke makam-makam tersebut dan berasumsi bahwa di antara makam-makam tersebut merupakan makam orangtua, sanak keluarga dan leluhurnya. Akhirnya ritual ziarah makam ini dilakukan setiap tahun.(rilis)
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :