JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) akan menjadi fokus kinerja pada 2023, sesuai dengan hasil Rakernas Gapki bertajuk 'Penguatan Kemitraan dan Percepatan PSR untuk Ketahanan Pangan dan Energi, Demi Kestabilan Domestik dan Internasional' di The Alana Yogyakarta Hotel & Convention Center, Yogyakarta pada 13-14 Juli 2023.
Ketua Umum Gapki, Eddy Martono menyatakan, isu yang dibahas dalam Rakernas akan menjadi program dalam satu tahun ke depan.
Adapun, PSR menjadi fokus perhatian Gapki, karena realisasinya berjalan lambat. Percepatan PSR diharapkan bisa mendorong produktivitas sawit nasional, sebab produktivitas sawit saat ini justru menurun.
"Program kerja tahun ini yang kami prioritaskan PSR. Kami bahkan membentuk satu bidang khusus untuk bidang percepatan PSR. Jika dilihat produktivitas kami empat tahun terakhir sudah bisa dikatakan stagnan, bahkan trennya menurun," ucap Eddy dilansir bisnis.com, Jumat (14/7/2023).
Di sisi lain, lanjut Eddy, konsumsi sawit secara nasional terus mengalami kenaikan. Sehingga jika produktivitas tidak didorong, maka dikhawatirkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri bakal kurang. Lebih jauh lagi ekspor akan dikorbankan dan berdampak pada devisa ekspor.
Menurutnya, target PSR pada tahun ini 180.000 hektare. Dari target tersebut, 80.000 hektare di antaranya merupakan program kedinasan melalui Dinas Perkebunan, dan 100.000 hektare melalui program kemitraan perusahaan.
"Kami memiliki plasma siap diremajakan 200.000 ha, tapi untuk bisa 100.000 ha tahun ini tinggal lima bulan rasanya tidak memungkinkan. Kami realistis saja setidaknya proses menuju 200.000 ha," tuturnya.
Eddy mengatakan, tantangan lainnya adalah UU Anti Deforestasi (EUDR) oleh Uni Eropa. Aturan ini akan melarang impor terkait produk pertanian dan perkebunan yang menyebabkan deforestasi, di mana sawit menjadi satu di antaranya. Implementasinya baru akan berjalan 18 bulan setelah disahkan.
"Kalau ini diberlakukan, bahayanya adalah kalau kita di benchmarking sebagai high risk country. Kalau dianggap demikian, setiap pengiriman ekspor CPO ke Eropa setiap kapal misalnya kapal 10.000 ton, 9 persen harus due diligence," ungkapnya.
"Nah, dengan begini akan menghambat karena di dalam satu pengiriman berapa ribu dokumen yang harus dilampirkan," paparnya.
Ditegaskannya, program ini akan dikawal terus sampai 18 bulan ke depan, sebab dampaknya justru ke petani.
"Mungkin eropa hanya impor 3,5 juta ton, tapi yang bahaya adalah kalau itu diikuti oleh negara-negara lain aturan eropa tersebut," ucapnya.
Terpisah, Dewan Pembina Gapki, Joko Supriyono menyampaikan tantangan lain dari industri sawit adalah kampanye negatif. Banyak disinformasi mengenai sawit yang sampai ke masyarakat.
"Kami orang sawit tidak cukup edukasi bangsa indonesia tentang sawit. Di sisi lain ada pihak-pihak yang kampanyekan sawit secara negatif. Disinformasi ini menurutnya membuat sebagian konsumen menjadi beralih," pungkasnya.(*)
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :