JAKARTA - Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Dono Bustami mengatakan komoditas kelapa sawit sedang mengalami banyak tantangan.
Salah satunya penolakan dari Uni Eropa sebagai imbas dari regulasi European Union's Renewable Energy Directive (RED) II.
RED II mengklasifikan produk kelapa sawit sebagai komoditas bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi) atau indirect land-use change (ILUC) (Delegated Regulation/DR Article 3 and Annex).
Dono mengisyaratkan aturan RED II dibuat Uni Eropa untuk menjegal industri kelapa sawit Indonesia agar tidak menyaingi produk minyak nabati, khususnya rapeseed produksi Uni Eropa.
"Sawit bisa tumbuh tidak di Eropa? Mungkin kalau bisa tumbuh enggak akan ada ribut-ribut seperti ini. Jadi, Anda nilai sendiri kenapa Eropa bikin aturan itu," ujar Dono di The Westin, Jakarta, Selasa (18/9/2019).
Meski demikian, BPDPKS akan terus menyosialisasikan bahwa kelapa sawit tidak seperti yang dituduhkan asalkan dikelola secara berkelanjutan. Apalagi, lanjut Dono, kontribusi kelapa sawit pada keuangan negara cukup besar, yakni Rp240 triliun pada 2018.
Saat ini India menjadi pasar utama kelapa sawit Indonesia dengan estimasi ekspor sebesar 9,7 juta ton. Disusul Uni Eropa sebesar 7,7 juta ton, lalu Tiongkok 6 juta ton, Pakistan 3 juta ton, dan Nigeria 2,5 juta ton.
"Pasar-pasar itu sangat potensial, di samping kami juga mengembangkan domestik demand melalui program B20, B30, dan dalam waktu dekat akan meluncurkan minyak goreng sehat pada bulan Oktober," imbuhnya dikutip medcomid.
Kinerja ekspor sawit Indonesia secara keseluruhan (CPO dan produk turunannya) pada 2018 tercatat naik sebesar delapan persen atau dari 32,18 juta ton pada 2017 meningkat menjadi 34,71 juta ton di 2018. Peningkatan paling signifikan dicatatkan oleh produk biodiesel yaitu sebesar 851 persen atau dari 164 ribu ton pada 2017 menjadi 1,56 juta ton pada 2018.
Sementara nilai sumbangan devisa dari kelapa sawit pada 2018 diperkirakan mencapai USD20,54 miliar atau menurun 11 persen dibandingkan dengan nilai devisa 2017 yang mencapai USD22,97 miliar. Hal ini salah satunya dipengaruhi harga rata-rata CPO yang menurun di angka USD595,5 per metrik ton atau menurun 17 persen dibandingkan rata-rata harga pada 2017 senilai USD714,3 per metrik ton. (*)
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :