JAKARTA - Pemerintah Indonesia semakin mantap mempersiapkan implementasi program biodiesel campuran 40 persen (B40) yang dijadwalkan mulai pada 1 Januari 2025.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot menyatakan, pelaksanaan program B40 berada di jalur yang tepat.
“Hari ini kami bersama tim mengecek kesiapan implementasi B40 yang akan dimulai pada 1 Januari 2025. Menteri ESDM telah menetapkan keputusan terkait implementasi ini, dan kami sudah melihat langsung kesiapan dari sisi industri Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebagai bahan bakar nabati,” ujar Yuliot dilansir detik.com.
Dalam program ini, kebutuhan biodiesel diperkirakan mencapai 15,6 juta kiloliter per tahun. Distribusi bahan bakar tersebut akan mencakup seluruh wilayah Indonesia, sehingga ketersediaan bahan baku dan kelancaran rantai pasok menjadi fokus utama pemerintah.
“Kami mengharapkan masukan dari Pertamina Patra Niaga maupun badan usaha lain terkait tantangan implementasi B40. Misalnya, wilayah seperti Dumai yang relatif panas atau daerah dataran tinggi dengan suhu lebih dingin, apakah ada dampak yang perlu diantisipasi Pertamina maupun badan usaha BBM lain,” tambah Yuliot.
Tantangan utama lainnya meliputi kondisi geografis Indonesia yang sangat beragam, yang memerlukan penyesuaian dari sisi teknologi dan distribusi bahan bakar.
PT Pertamina (Persero) telah mengambil langkah signifikan dengan mempersiapkan dua kilang utama untuk mendukung produksi B40, yakni Refinery Unit III Plaju di Palembang dan Refinery Unit VII Kasim di Papua.
Selain itu, pencampuran bahan bakar solar dengan bahan bakar nabati akan dilaksanakan Pertamina Patra Niaga.
“Pada dasarnya, kilang kami rata-rata memproduksi bahan bakar B0, dan insya Allah siap untuk memproduksi B40. Kilang yang akan memproduksi B40 adalah RU III Plaju dan RU VII Kasim, sementara proses pencampuran dilakukan oleh Patra Niaga,” ungkap Direktur Operasi PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Didik Bahagia.
Selain program B40, Pertamina juga telah berhasil memproduksi bioavtur atau Sustainable Aviation Fuel (SAF) dengan campuran 2,4% bahan bakar berbasis sawit. Produksi ini dilakukan di Green Refinery Kilang Cilacap melalui metode co-processing.
“Kapasitas pengolahan bioavtur saat ini mencapai 9.000 barel per hari (bph), dengan bahan baku dari produk turunan kelapa sawit, yaitu Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO). Uji coba telah dilakukan menggunakan pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-800 untuk rute Jakarta-Solo pulang pergi,” jelas Didik.
Program B40 merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mendukung energi berkelanjutan. Langkah ini juga diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah dari industri kelapa sawit nasional.(*)
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :