Home / Meranti | ||||||
Pajak Walet di Kepulauan Meranti: Dari Target Besar, Terhukum Regulasi Perda Hingga Terjadi Kebocoran Minggu, 23/02/2025 | 19:16 | ||||||
![]() | ||||||
Petugas Bapenda Kepulauan Meranti saat melakukan pemeriksaan ke salah satu tempat penangkaran walet SELATPANJANG - Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti terus berupaya memaksimalkan pendapatan daerah melalui sektor pajak, termasuk dari sektor pajak sarang burung walet, yang memiliki potensi dengan target yang besar mencapai Rp 15 miliar per tahun. Namun, hingga kini realisasi pajak dari sektor ini belum pernah mencapai target, bahkan hanya sekitar 20 persen per tahun. Menurut data dari Pemkab Kepulauan Meranti, salah satu kendala utama dalam optimalisasi pajak walet adalah sistem pemungutan yang mengandalkan self-assessment. Dalam Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur pajak walet, pelaporan jumlah panen sepenuhnya diserahkan kepada penangkar walet sendiri, tanpa ada mekanisme kontrol yang lebih ketat. Selain minimnya kontrol, tantangan lain dalam optimalisasi pajak walet adalah kurangnya kesadaran dan kepatuhan pengusaha walet dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Banyak pemilik usaha yang belum terdata secara resmi, sehingga menyulitkan pemerintah dalam melakukan pendataan dan pengawasan. Plt Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kepulauan Meranti, Susanti SH, bersama Kepala Bidang Pengembangan Kebijakan dan Sistem Informasi, Rio Hilmi ST, menyampaikan sejauh ini dalam penerapan pungutan pajak walet pihaknya masih menggunakan pola pengakuan dari wajib pajak. Dengan demikian ia merasa banyak pengusaha yang tidak jujur. Selain itu banyak juga masyarakat yang menjadi penangkar enggan membayar pajak karena menganggap tidak ada feedback yang mereka dapatkan. "Ketika kita mengunjungi dan memungut pajak dari sana kita hanya mendapatkan informasi self assessment tanpa bisa melihat langsung berapa yang akan dipanen. Akibatnya, banyak yang tidak jujur dalam melaporkan jumlah panennya, sehingga terjadi kebocoran pajak," ujar Rio. Berbagai kendala dihadapi dalam upaya optimalisasi pendapatan daerah dari sektor ini, salah satunya adalah rendahnya kesadaran masyarakat tentang kewajiban membayar pajak. Banyak pemilik usaha walet belum memahami aturan perpajakan, bahkan beberapa di antaranya mempertanyakan manfaat langsung yang mereka dapatkan dari pembayaran pajak ini. Rio menjelaskan bahwa pajak merupakan kontribusi wajib yang harus dibayarkan oleh individu maupun badan usaha, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Meskipun tidak memberikan imbalan langsung, pajak sangat berperan dalam pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat. "Sebagai warga negara yang baik, kita memiliki hak dan kewajiban. Pajak yang kita bayar digunakan untuk membangun infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan, layanan pendidikan, kesehatan, dan berbagai fasilitas publik lainnya. Jadi, ketika seseorang menjalankan usaha yang dikenai pajak, itu adalah bentuk kontribusi bagi pembangunan daerah," jelas Rio. Untuk meningkatkan kepatuhan, pihaknya akan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pajak walet. Namun, bagi wajib pajak yang sengaja menghindar, Pemkab Kepulauan Meranti tidak akan tinggal diam. "Kami akan berkoordinasi dengan Satpol PP dan pengacara negara untuk mengambil langkah tegas. Sosialisasi tetap dilakukan, tetapi bagi yang bandel, bisa saja ada penertiban dan penyegelan. Namun, itu harus sesuai prosedur dan tidak serta-merta menjadi wewenang kami sendiri," tegas Rio. Langkah ini diharapkan dapat mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap pajak walet, sehingga pendapatan daerah dapat lebih optimal dan pembangunan di Kepulauan Meranti semakin maju. Lebih lanjut Rio mengatakan Pajak sarang burung walet di Kabupaten Kepulauan Meranti masih menjadi sumber pendapatan yang belum bisa diandalkan. Meskipun berpotensi besar, realisasi pajak dari sektor ini terus mengalami penurunan. Dikatakan, pendapatan dari pajak walet justru semakin menurun. Pada tahun 2024, pajak ini hanya menyumbang sekitar Rp600 juta, jauh di bawah realisasi tahun 2023 yang mencapai Rp1,3 miliar. Namun, meskipun tren ini menurun, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) tetap menetapkan target yang tinggi, sesuatu yang menurutnya perlu dievaluasi. "Kalau walet itu pendapatannya malah makin turun, tapi entah kenapa TAPD masih menetapkan target yang besar. Tahun 2024 hanya dapat sekitar Rp600 juta, sementara tahun sebelumnya Rp1,3 miliar," ujarnya. Sebaliknya, sektor lain seperti Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) Listrik yang ditargetkan Rp9 miliar justru hampir mencapai target dengan realisasi sebesar Rp8 miliar, menjadikannya penyumbang terbesar dalam sektor pajak untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Salah satu kendala utama lainnya dalam pemungutan pajak walet adalah tidak sinkronnya koordinasi antara Balai Karantina Pertanian dan Pemkab Kepulauan Meranti. Padahal, Balai Karantina memiliki data yang akurat mengenai jumlah produksi sarang walet, karena mereka melakukan pemeriksaan sebelum menerbitkan Sertifikat Sanitasi Produk Hewan—dokumen yang wajib dimiliki para pengusaha walet untuk bisa menjual produknya ke luar daerah dengan harga tinggi atau membawanya melewati bandara. Sayangnya, menurut Rio, pihak karantina hingga hari ini enggan terbuka mengenai informasi ini, meskipun mereka pernah mencatat bahwa dalam satu tahun terdapat 17 ton sarang walet yang diperiksa. Jika dikalikan pajak sebesar 7,5 persen dengan harga jual Rp 10 juta, maka hasil yang didapatkan mencapai Rp 12,75 miliar. "Dulu sudah pernah Pemkab Kepulauan Meranti berkali-kali mengajukan permohonan kerja sama dengan Badan Karantina Pertanian lewat pemerintah pusat, tapi sampai saat ini tidak ada satupun surat yang digubris atau dibalas," ungkapnya. Selain itu, banyak pengusaha walet lebih memilih membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp5.000 per kilogram untuk sertifikat sanitasi, daripada membayar pajak daerah yang mencapai 7,5 persen dari nilai jual. Untuk mengatasi hal ini, Pemkab Kepulauan Meranti berharap bisa bekerja sama dengan Balai Karantina Pertanian, agar sebelum sertifikat sanitasi dikeluarkan, para wajib pajak terlebih dahulu melunasi pajak di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). Namun, tanpa dukungan dari pihak terkait, upaya ini masih menemui jalan buntu. Sejak era pemerintahan Bupati Irwan Nasir, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Meranti pernah menyusun strategi untuk mengoptimalkan pajak sarang burung walet. Salah satu formulasi yang digagas adalah pembentukan Asosiasi Pengusaha Walet. Dengan adanya asosiasi ini, segala urusan pajak dan regulasi bisa lebih terkoordinasi dan terkontrol. Namun, hingga kini asosiasi tersebut belum juga terbentuk. Penyebabnya adalah kurangnya dorongan dan fasilitasi dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, yang seharusnya menjadi motor penggerak dalam membangun wadah bagi para pengusaha walet di Meranti. Sebagai langkah alternatif, Pemkab Kepulauan Meranti pernah mencoba menerapkan formulasi sementara untuk pemungutan pajak walet. Formulasi ini menetapkan bahwa setiap penangkaran walet akan dibebankan pajak sebesar 2 ons produksi sarang per bulan. Dengan asumsi terdapat 1.000 unit rumah walet di Meranti, maka target pajak yang diharapkan adalah Rp 500 juta per bulan, atau setara dengan Rp 6 miliar per tahun. Dalam formulasi ini juga disebutkan bahwa penangkaran yang memiliki produksi lebih dari 2 ons per bulan akan dikenakan pajak yang lebih tinggi sesuai dengan skala produksinya. Namun, karena sulitnya mendapatkan data akurat tentang jumlah produksi, skema ini belum bisa diterapkan secara maksimal. Padahal, jika pengawasan dan koordinasi lebih baik, pajak dari sektor walet bisa menjadi sumber pendapatan daerah yang signifikan. Saat ini, dengan sistem yang masih longgar dan tanpa asosiasi yang kuat, realisasi pajak walet masih jauh dari target, bahkan mengalami penurunan setiap tahunnya. Pemerintah daerah perlu meninjau kembali strategi ini, baik dengan menghidupkan kembali rencana pembentukan asosiasi, memperkuat regulasi, maupun meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait. Tanpa langkah nyata, potensi pajak walet yang bisa menyumbang miliaran rupiah untuk pembangunan daerah akan terus mengalami kebocoran. Penulis : Ali Imroen |
||||||
![]() ![]() |

HOME | OTONOMI | POLITIK | EKONOMI | BRKS | OTOMOTIF| HUKRIM | OLAHRAGA | HALLO INDONESIA | INTERNASIONAL | REDAKSI | FULL SITE |
Copyright © 2010-2025. All Rights Reserved |