Home / Meranti | ||||||
Festival Perang Air: Dorong Pariwisata dan Ekonomi Kerakyatan di Meranti, Perputaran Uang Capai Puluhan Miliar Rupiah Selasa, 28/01/2025 | 21:35 | ||||||
Momen saat Festival Perang Air berlangsung di Kota Selatpanjang, Kepulauan Meranti SELATPANJANG - Perayaan Tahun Baru Imlek 2025 di Kabupaten Kepulauan Meranti dipastikan akan berlangsung meriah dan penuh warna. Tahun ini, kalender Tiongkok memasuki tahun Shio Ular Kayu, simbol kebijaksanaan, kreativitas, dan stabilitas, yang terakhir kali muncul pada 1965, tepat 60 tahun lalu. Di Kota Selatpanjang, ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti, berbagai persiapan menyambut tahun baru Imlek 2576 Kongzili sudah mulai terlihat. Rumah-rumah warga keturunan Tionghoa, vihara, dan pusat-pusat perbelanjaan bersolek dengan dekorasi khas Imlek. Sejak beberapa hari terakhir, ratusan lampion dan lampu berwarna-warni menghiasi ruas-ruas jalan utama di Kota Selatpanjang. Suasana yang meriah ini membawa semangat kegembiraan dan persatuan bagi warga, tidak hanya bagi masyarakat Tionghoa, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat yang turut menikmati perayaan bersama. Perayaan Imlek di Kepulauan Meranti, khususnya di Kota Selatpanjang, tidak hanya menjadi tradisi masyarakat Tionghoa, tetapi juga menjadi ajang kebersamaan lintas budaya yang dinanti oleh semua lapisan masyarakat. Kota yang dikenal dengan julukan "Kota Sagu" ini memiliki tradisi khas saat Imlek, yaitu Festival Perang Air atau lebih dikenal sebagai Cian Cui. Tahun ini, Festival Perang Air kembali digelar dengan semarak setelah sempat absen pada 2024 karena bertepatan dengan Pemilu. Tradisi yang digelar setiap sore selama seminggu ini berlangsung di jalan-jalan protokol Kota Selatpanjang. Warga menaiki becak, saling menyemprotkan air, dan melemparkannya ke arah warga yang berdiri di tepi jalan. Gelak tawa, kebahagiaan, dan suasana meriah pun tercipta, membuat semua orang yang hadir larut dalam kegembiraan. Festival ini tak hanya menjadi hiburan bagi warga lokal, tetapi juga menjadi magnet wisatawan dari berbagai daerah dan negara. Ribuan wisatawan hadir untuk menyaksikan dan berpartisipasi dalam perang air yang unik ini. Selain memeriahkan acara, kehadiran wisatawan juga mendongkrak perekonomian daerah dengan perputaran uang yang mencapai puluhan miliar rupiah selama festival berlangsung. Meski memiliki potensi besar untuk menjadi event unggulan nasional, sayangnya Festival Perang Air ini hingga kini belum terdaftar secara resmi di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Padahal, dengan keunikannya, tradisi ini memiliki peluang untuk menarik perhatian lebih luas di tingkat nasional maupun internasional, jika mendapatkan pengakuan dan dukungan dari pemerintah pusat. Festival Perang Air adalah cerminan keberagaman dan kekayaan tradisi Indonesia. Dengan dukungan yang tepat, tradisi ini dapat menjadi ikon pariwisata unggulan dan aset ekonomi kreatif yang membanggakan, tidak hanya bagi Kepulauan Meranti tetapi juga bagi Indonesia secara keseluruhan. Festival Perang Air atau lebih dikenal dengan Cian Cui oleh warga Tionghoa, juga menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti. Keunikan tradisi ini berhasil mencetak sejarah dengan meraih Rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) pada tahun 2019 sebagai perang air dengan jumlah peserta terbanyak di Indonesia. Yang membuat festival ini istimewa, menurut panitia MURI, adalah perpaduan tradisi unik di Meranti yakni gabungan tradisi Muslim tempo dulu saat Idul Fitri dengan tradisi Cian Cui, simbol kebinekaan yang hidup di masyarakat Kepulauan Meranti. Sebagai satu-satunya tradisi perang air di Indonesia, Festival Cian Cui menjadi ikon pariwisata yang menarik perhatian nasional maupun internasional. Sebagai perbandingan, festival serupa juga ada di Thailand, namun hanya berlangsung satu hari, sementara di Meranti digelar selama sepekan penuh. Prestasi dan Pengakuan Nasional Tradisi yang Membawa Kebahagiaan Ratusan kendaraan, mulai dari sepeda motor, becak, hingga gerobak, ikut serta. Mereka dilengkapi dengan "senjata" seperti pistol air, ember, gayung, dan alat lainnya yang bisa digunakan untuk membawa atau menembakkan air. Masyarakat di pinggir jalan pun tak mau kalah, dengan persenjataan air mereka sendiri yang disiapkan dalam tong, tangki, atau ember besar. Uniknya, tak ada yang boleh marah jika terkena siraman air, baik dari peserta maupun penonton. Bahkan, polisi yang bertugas mengamankan jalannya festival ikut basah kuyup dengan senyuman di wajah mereka, menciptakan suasana kebahagiaan yang menyebar ke seluruh kota. Sebagai tradisi yang tidak hanya unik tetapi juga membawa dampak ekonomi besar bagi Kepulauan Meranti, Festival Perang Air terus menunjukkan potensinya sebagai ikon pariwisata nasional. Dengan perhatian dan dukungan lebih dari pemerintah pusat, tradisi ini dapat semakin dikenal dunia dan menjadi salah satu kebanggaan budaya Indonesia. Festival Perang Air atau Cian Cui telah menjadi salah satu event tahunan yang memberikan dampak signifikan terhadap sektor pariwisata dan ekonomi kerakyatan. Keunikan festival ini terletak pada penggunaan becak motor khas Meranti sebagai kendaraan utama selama perang air. Peserta menggunakan becak motor untuk berkeliling kota sambil beradu semprotan air di sepanjang jalan protokol. Penggunaan becak ini bukan sekadar tradisi, tetapi juga strategi untuk mendorong peningkatan ekonomi masyarakat lokal, terutama bagi para pemilik becak motor. Syafrizal, seorang pengemudi becak motor, mengaku bahwa momen Imlek menjadi waktu yang sangat menguntungkan bagi dirinya. "Biasanya sehari hanya bisa dapat Rp50 ribu, tapi selama Imlek saya bisa meraup keuntungan hingga Rp500 ribu per hari," ujarnya penuh semangat. Festival Perang Air juga menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Tak hanya dari Provinsi Riau, banyak pengunjung datang dari luar provinsi bahkan luar negeri untuk menyaksikan keunikan tradisi ini. Meningkatnya kunjungan wisatawan memberikan dampak positif yang luas, termasuk pada sektor perhotelan dan kuliner. Selama perayaan Imlek, hampir semua kamar hotel di Selatpanjang terisi penuh, sementara restoran dan pedagang makanan mencatat peningkatan penjualan yang signifikan. "Momentum Imlek berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia. Keunikannya membuat turis berdatangan dan memberikan kontribusi besar terhadap perputaran uang di Meranti," kata seorang pelaku usaha perhotelan. Sebagai salah satu festival yang mengundang ribuan peserta setiap tahunnya, Festival Perang Air telah menjadi ikon yang memperkuat citra pariwisata Kepulauan Meranti. Dengan perputaran uang yang mencapai miliaran rupiah selama perayaan, event ini berperan besar dalam menggairahkan industri pariwisata daerah. Keberhasilan festival ini menunjukkan bahwa tradisi lokal dapat menjadi magnet wisata yang menggerakkan ekonomi kerakyatan dan memperkenalkan budaya unik Meranti ke dunia luar. Diharapkan, festival ini terus mendapatkan dukungan dari berbagai pihak untuk semakin berkembang dan menjadi salah satu ikon wisata nasional. Jelang perayaan Imlek 2025 yang jatuh pada Rabu, 29 Januari, Kota Selatpanjang menjadi pusat perhatian dengan lonjakan jumlah kunjungan wisatawan yang signifikan. Peningkatan ini terlihat jelas di Pelabuhan Tanjung Harapan, yang menjadi pintu masuk utama ke kota tersebut. Berdasarkan data dari Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Selatpanjang, sebanyak 17.635 penumpang tercatat menggunakan layanan pelabuhan sejak H-7 pada 22 Januari hingga H-1 pada 28 Januari 2025. Dari jumlah tersebut, 6.444 penumpang berangkat meninggalkan Selatpanjang, sementara 11.191 penumpang tiba di kota tersebut melalui 352 keberangkatan kapal. Ade Kurniawan, Petugas Lalu Lintas Angkutan Laut dan Kepelabuhan KSOP Selatpanjang, menjelaskan bahwa peningkatan ini jauh di atas rata-rata hari biasa, yang biasanya hanya mencapai 1.000 penumpang per hari. "Artinya sejak beberapa hari yang lalu, jumlah kunjungan maupun keberangkatan dari pelabuhan naik signifikan jelang perayaan Imlek ini," ujar Ade pada Selasa (28/1/2025). Puncak kedatangan penumpang terjadi pada 26 Januari 2025, dengan total 3.536 orang. Sebanyak 1.057 penumpang tercatat berangkat dari pelabuhan, sementara 2.479 orang tiba di Selatpanjang. "Penumpang yang datang ke Kepulauan Meranti masih mendominasi sejak beberapa hari terakhir," tambahnya. Ade juga menyebutkan bahwa jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, terjadi lonjakan penumpang yang signifikan. "Bila dibandingkan tahun lalu menjelang Imlek, terjadi pertumbuhan penumpang yang datang sebesar 80 hingga 100 persen, sementara penumpang yang berangkat bertumbuh sekitar 60 hingga 80 persen," jelasnya. Peningkatan jumlah pengunjung ini memberikan dampak positif pada sektor ekonomi lokal, mulai dari penginapan, transportasi, hingga kuliner. Perayaan Imlek di Selatpanjang tidak hanya menjadi momen budaya yang meriah, tetapi juga penggerak roda perekonomian masyarakat setempat. Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kepulauan Meranti, Eri Suhairi, mengungkapkan bahwa Festival Perang Air atau yang dikenal dengan Cian Cui telah menjadi momen istimewa bagi warga Tionghoa asal Meranti untuk kembali ke kampung halaman. Tradisi ini bukan hanya menjadi ajang merayakan kebersamaan, tetapi juga menarik perhatian wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Menurut catatan Disporapar, setiap perayaan Imlek yang dibarengi dengan Festival Perang Air, puluhan ribu wisatawan dari negara seperti Tiongkok, Malaysia, Singapura, Australia, dan berbagai daerah di Indonesia datang ke Kota Selatpanjang. Eri Suhairi menegaskan, warga Kepulauan Meranti patut berbangga karena festival ini telah menjadikan daerah mereka sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia. "Festival Perang Air ini sudah dikenal sejak dahulu oleh masyarakat Meranti. Tradisi ini awalnya digunakan untuk mengekspresikan kegembiraan saat Idul Fitri melalui siram-siraman air, dan kini masyarakat Tionghoa kembali menyemarakkan tradisi tersebut sebagai Cian Cui bertepatan dengan perayaan Imlek," jelasnya. Eri juga menekankan bahwa Festival Perang Air tidak terkait dengan ritual keagamaan, melainkan lahir dari kearifan lokal yang diwariskan sejak puluhan tahun lalu. Tradisi ini kemudian dikemas secara unik oleh masyarakat Tionghoa, menjadikannya sebuah festival yang ikonik. Selain menjadi ajang budaya, Festival Perang Air juga memberikan dampak ekonomi yang luar biasa bagi masyarakat setempat. Eri Suhairi mengungkapkan bahwa perputaran uang selama festival sangat tinggi. "Jika seorang wisatawan membelanjakan uangnya sebesar Rp 3 juta, maka dengan jumlah wisatawan dan warga Tionghoa yang balik kampung tahun ini sebanyak 11.191 orang, maka perputaran uang mencapai Rp 33,57 miliar," paparnya. Hal ini menjadi angin segar bagi sektor ekonomi lokal, terutama bagi pelaku usaha kecil seperti penyedia jasa transportasi becak motor, penginapan, rumah makan, dan pedagang kuliner khas. Pada akhirnya, Festival Perang Air telah berhasil mendunia, menarik wisatawan mancanegara dan menjadikan Kepulauan Meranti sebagai salah satu tujuan wisata yang unik. Tradisi yang menggabungkan kebahagiaan lintas budaya ini tidak hanya mempererat persaudaraan, tetapi juga memperkuat posisi Meranti dalam peta pariwisata Indonesia. Dengan keberhasilan ini, Pemerintah Daerah terus berupaya agar Festival Perang Air mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah pusat dan masuk dalam kalender pariwisata nasional, sehingga dampaknya dapat dirasakan lebih luas. Penulis : Ali Imroen
|
||||||
|
HOME | OTONOMI | POLITIK | EKONOMI | BRKS | OTOMOTIF| HUKRIM | OLAHRAGA | HALLO INDONESIA | INTERNASIONAL | REDAKSI | FULL SITE |
Copyright © 2010-2025. All Rights Reserved |