Home / Otonomi | ||||||
Lomba Pacu Jalur di Kuansing, Simbol Wujudkan Marwah Negeri dan Kebangkitan Ekonomi Selasa, 09/07/2024 | 22:39 | ||||||
Hairun tampak sibuk mengayunkan kapaknya, untuk membuat Jalur Pangeran Karamat Tangan Biso di Kampung Baru, Sentajo Raya (foto/Ali) KUANSING - Riuh suara gemuruh dan tepukan tangan mengiringi jalannya perpacuan jalur yang diadakan di Sungai Kuantan. Tradisi tahunan yang telah berlangsung selama puluhan tahun ini kembali memikat hati ribuan penonton dari berbagai daerah Itu tergambarkan saat tim ekspedisi PWI se-Riau mendapatkan kesempatan langsung melihat pacu jalur di Tepian Rajo, Kecamatan Pangean, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Sabtu (8/6/2024) siang. Sebanyak 104 jalur berusaha menjadi yang tercepat di tengah ribuan penonton yang datang menyaksikannya. Panas terik hari itu sepertinya tak menyurutkan langkah masyarakat dari setiap sudut kampung di Kecamatan Pangean melangkahkan kakinya menuju ke Tepian Rajo. Meskipun tiket masuk terbilang agak mahal yakni Rp 40 ribu perorang, namun tribun penonton yang dibuat menggunakan kayu itu penuh sesak bagi mereka yang akan menyaksikan pacu jalur rayon Pangean. Sepertinya tak ada ruang di tebing Tepian Rajo Pangean, Kuansing itu yang tak diinjak umat manusia. Mereka berjejal penuh sesak dan ribuan pasang mata nyaris tak berkedip hanya untuk menyaksikan keseruannya. Pacu jalur merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi, dan didukung sepenuhnya oleh masyarakat, baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, tidak heran jika pada waktu pertandingan masyarakat datang berbondong-bondong menyaksikan pertandingan. Bagi masyarakat yang jalurnya masuk final, maka dapat dikatakan kampung akan kosong pada hari itu, karena mereka pergi untuk menyaksikan perlombaan dan memberi dukungan kepada anak pacu. Warisan budaya Pacu Jalur merupakan tradisi yang sarat akan nilai sejarah ini telah diteruskan dari generasi ke generasi selama lebih dari seratus tahun oleh nenek moyang masyarakat Kuansing. Pada abad ke-17, jalur hanya berfungsi sebagai alat transportasi bagi warga yang tinggal di sepanjang Sungai Kuantan. Pacu jalur, tradisi turun-temurun yang hidup di tengah masyarakat Kabupaten Kuansing sejak ratusan tahun silam, tidak hanya menawarkan tontonan fisik yang memukau tetapi juga menyimpan dimensi mistik yang mendalam. Dari proses pencarian kayu, penebangan, pemberian nama jalur, hingga saat pertandingan berlangsung, pacu jalur sarat dengan nuansa mistik yang menjadi bagian integral dari budaya ini. Seiring berjalannya waktu, jalur-jalur ini mengalami perkembangan. Beberapa di antaranya dihiasi dengan ukiran khas yang indah, lengkap dengan payu, selendang, dan lambai-lambai (tempat bagi juru mudi berdiri). Perkembangan ini akhirnya menjadi cikal bakal Festival Pacu Jalur, kompetisi cepat antar jalur yang kini dikenal luas. Awalnya, Pacu Jalur digelar untuk merayakan hari besar agama Islam, seperti Idul Fitri di Riau. Namun, pada masa penjajahan Belanda, acara ini juga digunakan untuk memperingati hari jadi Ratu Wilhelmina setiap tanggal 31 Agustus. Ternyata, tradisi yang ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda ini memiliki makna dan filosofi mendalam. Mulai dari pembuatan perahu hingga gerakan yang dilakukan oleh penari dalam Pacu Jalur, semuanya memiliki arti tersendiri. Yang menarik, proses pembuatan jalur tidak bisa dilakukan sembarangan. Sebelum masyarakat mengambil kayu besar, mereka melakukan ritual sebagai tanda penghormatan dan permohonan izin kepada hutan belantara. Setiap jalur mampu menampung sekitar 50-60 orang (anak pacu), dan setiap orang di perahu memiliki peran masing-masing. Mulai dari Tukang Concang (komandan atau pemberi aba-aba), Tukang Pinggang (juru mudi), Tukang Onjai (yang memberi irama dengan cara menggoyangkan tubuh), hingga Tukang Tari atau Anak Coki yang berada di bagian depan perahu. Yang menarik, posisi Anak Coki hampir selalu diisi oleh anak-anak karena mereka memiliki berat badan yang lebih ringan. Dengan demikian, perahu dapat melaju dengan lebih lincah. Gerakan yang dilakukan Anak Coki juga memiliki makna khusus. Mereka menari di depan jalur jika perahu yang mereka tumpangi berada di posisi unggul. Setelah mencapai garis finish, Anak Coki langsung bersujud syukur di ujung perahu. Tim ekspedisi PWI se-Riau juga mendapatkan kesempatan langka yakni menyaksikan langsung pembuatan jalur di Kampung Baru, Sentajo Raya. Berjarak 10 kilometer dari Kota Telukkuantan, ibukota Kabupaten Kuansing. Adalah Hairun (63) warga Inuman, Pulau Panjang Hilir dipercayakan oleh warga setempat melalui musyawarah desa sudah bersepakat menunjuk dia sebagai orang yang diamanahkan membuat jalur baru desa tersebut. Sewaktu didatangi, Hairun tampak sibuk mengayunkan kapaknya. Pria yang sudah hampir 13 tahun membuat perahu jalur di berbagai desa yang ada di Kuansing maupun kabupaten tetangga Indragiri Hulu bukanlah orang biasa yang dipandang sebelah mata. Dari tangannya sudah banyak jalur yang berhasil meraih juara, baik juara di tingkat rayon maupun di event pacu nasional. Termasuk Jalur Siposan Rimbo, sang juara yang sudah 4 kali keluar sebagai juara nasional di Tepian Narosa Telukkuantan, 2014, 2016, 2017, dan 2018. Irun panggilan akrabnya bersama sejumlah kawan-kawannya sedang membuat Jalur yang diberi nama Pangeran Keramat Tangan Biso. Dulunya nama jalur Desa Kampung Baru Sentajo ini adalah Somuik Api namun bukan dia yang membuatnya. Kenyataannya setelah berpacu hampir tiga tahun di berbagai event pacu jalur mulai dari kecamatan hingga tingkat kabupaten tak pernah sekalipun menang. Karena dianggap tak bisa bersaing lagi, maka atas musyawarah dan keinginan masyarakat, Desa Kampung Baru Sentajo sepakat untuk kembali membuat jalur baru. Ada banyak tahapan yang akan dilakukan Hairun dan kawan-kawan. Dimulai dengan Melepas benang dan pendadaan, pada tahap ini dilakukan penggukuran kayu menggunakan benang kemudian menentukan bagian dada Jalur. Proses ini dilakukan dengan meratakan bagian atas kayu yang memanjang mulai dari bagian pangkal ke bagian ujung. Bagian kayu yang biasa dibuat sebagai dada adalah bagian atasnya dengan proses pembuatan sekitar tiga hari. Biasanya, proses pendadaan ini memakan waktu sekitar tiga hari. Selanjutnya proses Mencaruk. Tahap ini berarti mengeruk bagian kayu yang telah diratakan untuk dilubangi dengan ketebalan yang sama menggunakan kapak dan ladiang godang yang tajam di masing-masing bagiannya. Proses ini memakan waktu antara tiga hingga tujuh hari. Kemudian Menggiling, Manggaliak dan membuat perut. Menggiling adalah melincinkan bagian luar untuk membentuk bakal Jalur menjadi ramping seperti perahu. Sedangkan manggaliak berarti masyarakat akan bergotong royong untuk bersama-sama menelungkupkan Jalur. Setelah Jalur ditelungkupkan, perut Jalur akan dibentuk melengkung dari bagian haluan hingga kemudi. Membuat lubang kakok. Lubang akan dibuat pada Jalur dengan menggunakan bor. Lubang ini berfungsi sebagai alat kontrol bagi tukang agar tidak meleset saat mengukur ketebalan perut Jalur. Lubang kakok juga mencegah Jalur pecah saat dipanaskan atau diasap atau dilayur. Lubang-lubang ini nantinya akan ditutup kembali dengan kayu keras. Manggaliak dan Menggantung timbuku. Setelah Jalur sudah agak ramping dan ringan, Jalur ditelentangkan kembali untuk kemudian dibuat timbuku atau bendulan-bendulan yang berfungsi sebagai tempat duduk. Timbuku dibuat sejajar antara kedua sisi perut Jalur. Selanjutnya membentuk haluan atau kemudi. Ukuran haluan berkisar antara 1 hingga 1.5 meter, setelah itu kemudi dibentuk dengan ukuran kira-kira 2 meter. Pj Kepala Desa Kampung Baru, Mashuri mengatakan jika setiap hari pemuda desa datang ke rumahnya. Mereka menanyakan kapan membuat jalur baru. Melihat antusias pemuda, ia pun mengumpulkan semua elemen dan melakukan rapat musyawarah dan bersepakat untuk membuat jalur baru. Alasan pembuatan jalur baru karena jalur lama kalau diperbaiki lebih besar biayanya daripada membuat jalur baru. "Akhirnya setelah melakukan rapat musyawarah bersama masyarakat, kami memutuskan untuk membuat jalur baru. Karena untuk memperbaiki jalur lama sangat mahal," kata Mashuri. Mashuri menjelaskan pihak desa saat itu tidak punya anggaran yang cukup untuk mewujudkan keinginan itu. Apalagi dana pembuatan jalur bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta. Namun tekad warga untuk memiliki jalur baru tak bisa dibendung. Lewat pengumpulan dana, proyek besar itu pun dimulai. Tidak mudah bagi masyarakat Kampung Baru Sentajo, Sentajo Raya, untuk mendapatkan pohon besar dengan panjang 30 hingga 35 meter. Beruntung ada Hutan Lindung Sentajo yang masih terjaga, yang masih menyimpan aneka ragam pepohonan tua lagi besar yang masih terperlihara hingga sekarang. Dalam sejarahnya terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk dapat membuat sebuah Jalur. Ketua Jalur Syamsuri mengatakan pihaknya terlebih dahulu mengadakan Rapek kampuang atau rapat desa, kegiatan ini bertujuan untuk membentuk panitia pembuatan Jalur yang dikenal dengan sebutan Pak Tuo atau Tetua Kampung. Dalam tahap ini juga ditentukan hutan lokasi pencarian kayu yang petunjuknya berasal dari dukun kampung. Selanjutnya diputuskan beberapa anggota untuk mencari kayu ke hutan lindung tersebut setelah mereka mendapat izin dari pihak kehutanan setempat. Jarak hutan lindung dari desa mereka sekitar 7 Kilometer. Namanya Hutan Kanagarian Sentajo yang luasnya 416.250 hektare yang terbagi menjadi 2 blok yang terpisah yaitu blok A seluas 86.880 hektare dan blok B seluas 329.380 hektare. Mulanya tim pencari kayu menemukan dua jenis kayu yang dinilai cocok yakni Meranti Bungo dan Marsawa atau bahasa kampungnya Tonam. Lalu diputuskan bersama memilih Meranti Bungo dengan panjang sekitar 34 meter. Diameter 1 meter. Dengan target isian jalur 53 hingga 55 pemacu. Jalur Pangeran Keramat Tangan Biso yang dibuat di Desa Kampung Baru Sentajo itu akan diturunkan di Festival Pacu Jalur Agustus 2024 mendatang, merupakan jalur yang keempat yang dibuat desa tersebut. Untuk dijadikan Jalur pun tak bisa sembarangan, karena pohon yang layak harus lah memiliki nilai spiritual tinggi. Jenis pohon yang pernah digunakan masyarakat sebagai bahan Jalur diantaranya adalah pohon Balau, pohon Mersawa, pohon Meranti, pohon Balam Merah, pohon Banio, pohon Kure, pohon Trembesi, dan pohon Kruing. "Hutan ini tak bisa juga sembarang tebang, meski ini berada di Sentajo. Tapi karena ini hutan lindung yang juga termasuk hutan larangan, tentu kami harus siapkan syarat-syaratnya terlebih dahulu. Baru bisa kami tebang," kata Syamsuri, Ketua Jalur Pangeran Keramat Tangan Biso Desa Kampung Baru Sentajo Raya. Sebelum kayu jalur ditebang, terlebih dahulu melakukan ritual untuk membangunkan mambang kayu tersebut. Upacara ini dipimpin oleh dukun dengan beberapa rangkaian kegiatan seperti penyembelihan ayam, pembakaran kemenyan, tepung tawar, dan sebagainya. Ayam disembelih langsung oleh dukun, dan ayam digunakan dalam ritual ini biasanya berwarna hitam jamui (putih suci), atau biriang kuniang, atau jalak. Kemenyan dibakar pada sekeliling pohon tersebut dan disirami tepung tawar sambil membaca mantra. Di Pohon besar berusia puluhan tahun itu, mereka pun berdoa bersama yang dipandu oleh salah seorang alim yang memang harus ada dalam setiap penumbangan kayu jalur. Doa pun dibaca. Puja-puji, ampunan dan permohonan izin untuk menumbang kayu pun dipinta kepada Sang Pencipta. Kayu jalur sudah ditumbang. Proses selanjutnya, Mangabung kayu atau memotong kayu. Proses ini adalah memotong bagian ujung kayu setelah kayu tersebut ditebang. Dalam proses ini juga dilakukan pembersihan seluruh bagian kayu yang akan dibentuk. Mereka pun bersiap-siap membawa kayu itu ke tengah-tengah masyarakat untuk dibuat menjadi sebuah jalur yang bisa menorehkan prestasi di setiap event. Kayu jalur siap dibopong ke kampung dengan melibatkan banyak warga. Usai kayu ditebang, masyarakat berbondong-bondong menarik kayu dari hutan. Ditarik dengan alat berat. Satu hari ditarik, kayu pun tiba di kampung,tempat jalur akan dibuat. Pada hari penarikan kayu dari hutan masyarakat dengan semangat gotong royong tumpah ruah bersama-sama turun pada kegiatan itu. Tidak kurang dari total warga 2.000 jiwa yang terlibat. Sejauh 7 kilometer perjalanan, kayu jalur itu pun berhasil dibawa ke desa yang diiringi ribuan masyarakat sambil disambut dengan alat musik rarak dan calempong. Kayu itu kini siap dibuat menjadi sebuah jalur yang bisa mempertahankan marwah masyarakat desa. Proses pengambilan kayu untuk dijadikan perahu jalur masih mempertahankan tradisi yang kaya akan nuansa mistik. Ritual-ritual yang dilakukan saat pencarian pohon hingga penebangannya mencerminkan kepercayaan masyarakat akan kekuatan magis yang dimiliki oleh pohon tersebut. Masyarakat meyakini bahwa jalur yang diambil dengan cara yang benar dan dihormati melalui ritual-ritual tertentu akan membawa keberuntungan dan kemenangan. Meski pemerintah daerah melalui dinas terkait telah berupaya untuk memodernisasi proses ini dan mengurangi kepercayaan pada hal-hal mistik, tradisi ini tetap bertahan sebagai bagian dari khazanah budaya yang sulit dihilangkan. "Kami sudah berupaya untuk tidak melakukan hal-hal seperti itu, tapi karena ini budaya yang sudah berlangsung lama, jadi agak susah untuk menghilangkannya. Anggap saja ini bagian dari khazanah budaya kita dan jangan dipercaya betul terhadap hal-hal seperti itu," ujar Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kuansing, Drs Azhar. Lomba Pacu Jalur menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan bagi masyarakat Kuansing.Tidak hanya sekadar ajang kompetisi, pacu jalur ini adalah marwah kampung. Anggapan jika kampung itu tidak ada jalur sama dengan desa itu tidak memiliki orang lelaki, meskipun dari 345.000 penduduk Kuansing, jumlah laki-laki sedikit mendominasi yakni 54 persen. Selain itu, Pacu Jalur juga menjadi simbol kebangkitan ekonomi dan pariwisata Kuansing. Sehingga tradisi pacu jalur menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat yang berada di Kuansing sendiri dan para perantau yang ada di luar Kuansing. Dari 218 desa yang tersebar di 15 kecamatan di Kuansing hanya tiga desa yang tak memiliki jalur. Semua desa yang berada di pinggir Sungai Kuantan memiliki jalur. Pacu Jalur sudah menjadi agenda wisata nasional yang mendatangkan efek domino yang cukup besar bagi masyarakat Kuansing. Dari event ini, pergerakan ekonomi masyarakat melesat cepat, terutama dari sektor UMKM. Pacu Jalur adalah warisan budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Kuansing. Setiap tahun, jalur-jalur dihias indah dan diperlombakan dengan semangat tinggi. Masyarakat berbondong-bondong datang untuk menyaksikan jalannya lomba, membawa serta harapan dan doa untuk tim favorit mereka. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kuansing, Drs Azhar menjelaskan bahwa Pacu Jalur tahun ini tidak hanya berfokus pada aspek budaya, tetapi juga memiliki tujuan yang lebih luas yakni dengan tema 'Budaya Lestari, Pariwisata Maju, Ekonomi Bangkit, Masyarakat Sejahtera'. "Kami ingin menunjukkan bahwa budaya tradisional seperti Pacu Jalur bisa menjadi motor penggerak bagi sektor pariwisata dan ekonomi lokal. Melalui lomba ini, kami berharap masyarakat tidak hanya menikmati hiburan, tetapi juga merasakan dampak positif secara ekonomi," ujar Azhar. Selama berlangsungnya acara, berbagai kegiatan pendukung turut meramaikan suasana. Pasar rakyat yang menjajakan aneka kuliner khas Kuansing dan produk kerajinan lokal menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Pengrajin lokal seperti penganyam tikar, pembuat kain tenun, dan pengolah makanan tradisional mendapatkan kesempatan untuk memamerkan dan menjual produk mereka, memberikan tambahan penghasilan yang signifikan. Begitu juga dengan sektor usaha yang lain, Azhar menyebutkan, selama event pacu jalur berlangsung ada sebanyak 472 kamar hotel, wisma dan homestay yang ada dipenuhi pengunjung. Marni, seorang pengrajin tikar pandan asal Desa Lubuk Jambi, mengaku sangat terbantu dengan adanya acara ini. "Setiap tahun, saya selalu menantikan Pacu Jalur karena dagangan saya selalu laku keras. Banyak wisatawan yang tertarik dengan tikar pandan buatan saya. Ini sangat membantu ekonomi keluarga kami," kata Marni dengan wajah sumringah. Selain itu, lomba ini juga menjadi magnet bagi wisatawan dari luar daerah, bahkan dari mancanegara. Hotel-hotel dan penginapan di sekitar lokasi lomba penuh sesak oleh pengunjung yang ingin menyaksikan kemeriahan Pacu Jalur. Pengusaha lokal pun turut merasakan dampaknya. "Setiap tahunnya saat digelar event pacu Jalur, tingkat hunian hotel kami mencapai 100 persen. Kami juga melihat peningkatan kunjungan ke tempat-tempat wisata lokal. Ini sangat baik untuk perekonomian daerah," ungkap Andi, pemilik salah satu hotel di Teluk Kuantan. Event Pacu Jalur Tingkatkan Ekonomi Daerah Saat menyambut dan menjamu rombongan ekspedisi wartawan Riau yang tergabung di PWI Riau, Bupati Kuansing Suhardiman Amby Dt Panglimo Dalam menjelaskan bahwa tradisi pacu jalur ini telah dikenal dunia lewat berbagai eskpose yang dilakukan wartawan maupun pemerintah. Bupati mengatakan Festival Pacu Jalur yang menjadi salah satu bagian dari 110 event dalam Kharisma Event Nusantara (KEN), pada pacu jalur hari pertama tahun 2023 tercatat jumlah penonton di Tepian Narosa Telukkuantan berkisar 600-700 ribu orang. "Saat ini Pacu Jalur kita sudah masuk dalam 7 besar Kharisma Event Nusantara. Dimana ada 400-500 ribu penonton yang hadir dan pernah tercatat 700 ribu yang hadir saat final di Tepian Narosa. Ekonomi masyarakat berputar, dimana seluruh dagangan laku dari mereka yang datang hadir untuk berbelanja. Data BPS menyebutkan perputaran uang selama kegiatan itu berlangsung mencapai Rp97 miliar," ujar Bupati. Bupati memberikan contoh sederhana bahwa dalam event yang belangsung lima hari itu terdata total jumlah penonton mencapai 1 juta orang. "Bayangkan bila mereka belanja per orang saja Rp50.000 pada kegiatan itu maka ada Rp50 miliar dana berputar di event itu,"ujar Bupati. Menurut Bupati kerja keras semua pihak menggaungkan tradisi pacu jalur ini membuat event ini masuk 10 besar event pariwisata di Sumatera dan masuk jadi agenda event wisata nasional. Menurut Bupati tradisi ini telah membantu meningkatkan ekonomi UMKM di daerah. Bupati menyampaikan harapannya agar Pacu Jalur terus menjadi kebanggaan dan sumber kesejahteraan bagi masyarakat Kuansing. "Lomba Pacu Jalur bukan hanya tentang siapa yang tercepat, tetapi tentang menjaga warisan leluhur kita, mengembangkan pariwisata, mendorong kebangkitan ekonomi, dan mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Mari kita jaga dan lestarikan tradisi ini untuk anak cucu kita," tegasnya. Lebih lanjut disampaikan, dengan semangat melestarikan budaya, maka pariwisata yang maju akan berimbas kepada kebangkitan ekonomi dan masyarakat akan sejahtera. "Lomba Pacu Jalur berhasil membuktikan bahwa melalui pelestarian budaya, kita bisa menciptakan dampak yang luas dan positif bagi pembangunan daerah. Tradisi yang dijaga dan dirayakan bersama ini menjadi bukti nyata bahwa budaya lokal memiliki potensi besar untuk memajukan pariwisata, menggerakkan ekonomi, dan menyejahterakan masyarakat," tuturnya. Pacu Jalur, Simbol Gotong Royong dan Kekayaan Budaya Pacu Jalur, sebuah tradisi budaya yang berumur lebih dari 100 tahun, telah menjadi simbol gotong royong dan kekayaan budaya di Riau. Lomba mendayung ini dilakukan dengan menggunakan perahu dari kayu gelondongan yang terbuat dari sebatang kayu lurus tanpa sambung, dapat memuat 40-60 orang. Proses pembuatan jalur ini sangat panjang dan dipenuhi oleh rangkaian mistis dan adat. Tahapan proses pembuatan jalur meliputi 18 tahapan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Pemanfaatan jalur telah dimulai sejak abad ke-17. Saat itu jalur digunakan sebagai alat transportasi masyarakat termasuk untuk hasil buminya. Semakin lama muncul inovasi-inovasi baru masyarakat terhadap jalur ini. Muncul lah jalur dengan ukiran-ukiran tertentu pada bagian kepalanya serta pernak-pernik lainnya termasuk jalur yang dipasangkan payung supaya penumpang teduh. Sekitar seabad kemudian muncullah ide baru yang menarik yaitu lomba pacu jalur. Ini lah sisi lain dari jalur yang dipakai sebagai alat transportasi air kemudian menjadi alat olahraga dan kebanggaan. Diperkirakan bahwa perlombaan pacu jalur dimulai sejak tahun 1903. Saat itu diadakan di kampung-kampung masyarakat dalam rangka memeriahkan peringatan hari besar Islam. Ketika pemerintahan Hindia Belanda mengetahui ini maka perlombaan pacu jalur pun dijadikan sebagai hiburan untuk acara-acara perayaan adat, kenduri, dan pernah dilakukan untuk memperingati hari kelahiran Ratu Wilhelmina (Ratu Belanda) yang jatuh pada 31 Agustus. Sehingga perlombaan pacu jalur dilaksanakan mulai rentang bulan Agustus sampai September. Selanjutnya mulai zaman kemerdekaan Negara Republik Indonesia pacu jalur dilombakan pada bulan Agustus. Kemudian mulailah diadakan Festival Pacu Jalur sampai saat ini. Biasanya berkisar mulai tanggal 20 sampai akhir bulan Agustus. Acara ini telah menjadi agenda budaya masyarakat, sehingga ribuan orang tumpah ruah menyaksikan. Perekonomian masyarakat menjadi hidup seketika. Namun jalanan bisa menjadi macet karena banyaknya orang dan kendaraan yang datang. Bukan hanya warga Kuansing saja namun dari berbagai pelosok Nusantara bahkan dari luar negeri. Festival Pacu Jalur telah menjadi salah satu festival yang dinantikan oleh banyak orang. Berbagai kegiatan ekonomi kreatif, hiburan, dan tarian tradisional membuat festival ini sangat meriah. Efek sosial kemasyarakatan festival ini pun patut diperhitungkan, karena banyak perantau yang berasal dari Kuantan Singingi yang pulang kampung untuk menyaksikan festival ini. Pacu Jalur telah menjadi bagian dari KEN dan sukses menarik perhatian masyarakat Indonesia. Festival ini juga telah menjadi topik hangat di media sosial, terutama karena aksi penari cilik yang asyik joget di atas perahu. Dengan demikian, Pacu Jalur tidak hanya sebagai lomba mendayung, tapi juga sebagai simbol gotong royong dan kekayaan budaya Riau yang harus dilestarikan dan diperjuangkan. Dimana ada banyak proses yang dilalui untuk membuat sebuah Jalur. Magis dan Kemenangan dalam Pacu Jalur Sebelum jalur dipacukan di Sungai Kuantan, jalur yang terbuat dari kayu besar dan panjang yang berusia puluhan tahun itu terlebih dahulu dipelihara secara ghaib. Konon, karena kayu yang berusia puluhan tahun ini diyakini masyarakat Kuansing terdapat mambang atau makhluk halus penunggu suatu kawasan. Kepercayaan bahwa untuk memenangkan pacu jalur diperlukan campur tangan magis dan mistik masih kuat di tengah masyarakat. Jalur yang akan memenangkan perlombaan dipercaya harus memiliki perpaduan sempurna antara unsur fisik, seni, dan mistik. Ritual-ritual tertentu, doa-doa, dan pemberian nama jalur yang penuh makna adalah bagian dari upaya untuk memastikan jalur tersebut memiliki kekuatan magis yang mampu membawa kemenangan. Tujuannya, agar pada saat berpacu jalur ini bisa diharapkan mendapat lawan yang ringan atau lawan yang sepadan. Pacu jalur adalah wujud kreasi budaya dan karya seni yang menggabungkan olahraga, seni, dan mistik. Jalur yang berlomba bukan sekadar perahu yang dipacu oleh kekuatan fisik para pendayung, tetapi juga simbol dari kerja keras, kebersamaan, dan harapan masyarakat. Setiap kayuhan mendayung adalah manifestasi dari semangat juang, setiap nama jalur adalah doa, dan setiap ritual adalah ikhtiar untuk meraih kemenangan. Memahami dan menghormati dimensi mistik dalam pacu jalur adalah bagian dari pelestarian budaya yang kaya dan unik di Kuansing. Pemerintah daerah, bersama masyarakat, terus berupaya untuk menjaga keseimbangan antara mempertahankan tradisi dan mengintegrasikan nilai-nilai modern yang positif. Dengan demikian, pacu jalur tetap menjadi ikon budaya yang tidak hanya menghibur tetapi juga sarat makna dan sejarah. Pacu jalur adalah lebih dari sekadar perlombaan. Ia adalah cerminan dari identitas budaya Kuansing, perpaduan harmonis antara kekuatan fisik, seni, dan mistik yang menciptakan warisan budaya yang luar biasa. Sebagai masyarakat yang mencintai tradisi, kita diajak untuk memahami, menghargai, dan melestarikan nilai-nilai yang terkandung dalam pacu jalur, menjadikannya sebagai inspirasi untuk membangun masa depan yang lebih baik. Pacu Jalur Sebagai Pariwisata Berkelanjutan Ketika Festival Pacu Jalur kembali diadakan, semua masyarakat dengan bangga turut mendukung penyelenggaraan acara ini agar dapat berlangsung sukses dan meriahnya. Pasalnya, Pacu Jalur merupakan salah satu manifestasi pariwisata berkelanjutan di Riau. Menurut Organisasi Pariwisata Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO), pariwisata berkelanjutan merupakan pariwisata yang benar-benar memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk masa depan demi memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, linkungan dan masyarakat setempat. Melihat karakteristik Pacu Jalur sebagai sebuah tradisi, jelaslah bahwa ajang ini lebih dari sekadar lomba adu cepat atau adu ketangkasan mendayung. Pacu Jalur adalah warisan nilai gotong royong, penghargaan terhadap lingkungan, leluhur dan warisan budaya yang menjadi bagian dari identitas masyarakat Riau. Festival Pacu Jalur tidak hanya menarik perhatian turis dari seluruh dunia yang berbanding lurus dengan perputaran roda ekonomi lokal, namun juga kesempatan masyarakat untuk memperkuat akar identitas dan terus mewariskannya pada generasi masa depan. Membangkitkan Pariwisata Kuansing Melalui Pacu Jalur dan Potensi Wisata Alam Kabupaten Kuansing dikenal luas dengan tradisi Pacu Jalur, sebuah perlombaan dayung perahu yang meriah dan penuh semangat. Namun, selain Pacu Jalur, Kuansing juga menyimpan harta karun tujuan wisata yang cantik dan unik, baik itu pemandangan alam maupun situs budaya. Dengan potensi yang melimpah, Bupati Kuansing berencana untuk mengkoneksikan event Pacu Jalur dengan potensi wisata alam daerah ini, guna mendongkrak pariwisata dan ekonomi lokal. "Artinya penonton pacu jalur tidak hanya selesai di event itu tetapi bisa berwisata dengan aneka potensi wisata yang Kuansing miliki," kata Bupati. Kuansing memiliki beragam destinasi wisata yang menakjubkan. Dari perbukitan yang hijau, air terjun yang menawan, hingga situs budaya yang kaya sejarah. Salah satu contoh destinasi alam yang memukau adalah Air Terjun Guruh Gemurai, sebuah air terjun yang indah dengan aliran air yang deras dan pemandangan yang mempesona. Tempat ini sering menjadi tujuan wisatawan yang ingin merasakan kesejukan alam dan menikmati panorama alam yang asri. Selain itu, Danau Kebun Nopi yang eksotis juga menjadi daya tarik tersendiri. Danau ini menawarkan keindahan alami dengan air yang jernih dan pemandangan yang menenangkan. Wisatawan dapat menikmati berbagai kegiatan seperti berperahu, memancing, atau sekadar bersantai menikmati pemandangan danau. Di sisi budaya, Kuansing memiliki situs-situs bersejarah yang memancarkan pesona masa lalu. Benteng Tujuh Lapis, misalnya, adalah salah satu peninggalan sejarah yang menjadi bukti kejayaan masa lampau dan menambah nilai wisata budaya di daerah ini. Adapun pariwisata lainnya yang mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan diantaranya Air Terjun Tujuh Tingkat, Air Terjun Tujuh Tingkat yang berada di Kecamatan Hulu Kuantan. Selain itu ada banyak kawasan hutan lindung seperti masih berbatasan dengan Taman Nasional Teso Nilo (TNTN) yang memiliki luas 420 ribu hektare. Wisata alam ini semakin melengkapi pesona wisata Kuantan Singingi di mata dunia. Bupati Kuansing menginginkan agar event Pacu Jalur tidak hanya menjadi ajang perlombaan semata, tetapi juga menjadi gerbang untuk memperkenalkan kekayaan alam dan budaya Kuansing. Dengan demikian, event ini dapat menarik lebih banyak wisatawan yang tidak hanya datang untuk menyaksikan Pacu Jalur, tetapi juga untuk menjelajahi keindahan alam dan budaya Kuansing. Bupati berencana untuk mengembangkan infrastruktur pariwisata, seperti akses jalan yang lebih baik menuju destinasi wisata, fasilitas pendukung seperti penginapan, dan promosi yang lebih gencar. Dengan adanya koneksi antara event Pacu Jalur dan potensi wisata alam, diharapkan pariwisata di Kuansing dapat tumbuh pesat, mendatangkan lebih banyak wisatawan, dan pada akhirnya menggerakkan roda ekonomi lokal. Mengembangkan pariwisata dengan mengedepankan kekayaan alam dan budaya tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga mendorong pelestarian lingkungan dan warisan budaya. Pemerintah daerah berkomitmen untuk mengembangkan pariwisata yang berkelanjutan, menjaga keindahan alam dan kelestarian budaya, sambil memberikan pengalaman yang tak terlupakan bagi wisatawan. Dengan semangat melestarikan budaya dan memajukan pariwisata untuk ekonomi bangkit menuju masyarakat sejahtera, Kuansing siap untuk melangkah maju, mengukuhkan diri sebagai destinasi wisata yang unggul dan menarik, serta memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan masyarakatnya. Maka itu Bupati berharap event pacu jalur dan potensi pariwisata di Kuansing yang belum semuanya tergarap dengan maksimal perlu bantuan dan sentuhan pemerintah pusat agar meningkatkan semua potensi itu menjadi nyata. "Kalau pemerintah pusat ambil bagian dalam event ini mungkin dari segi promosi, pembiayaan atau juga membangun sarana dan prasarana yang ada maka potensi wisata pacu jalur Kuansing akan lebih berkembang dan durasi para wisatawan tinggal dan berwisata di Kuansing tentu lebih panjang," tukasnya. Menyelamatkan Tradisi Pacu Jalur dan Kelestarian Hutan Kuansing Pacu jalur, tradisi turun-temurun yang berkembang di tengah masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi sejak ratusan tahun silam, telah menjadi salah satu aset budaya nasional. Namun, eksistensi budaya pacu jalur ini menghadapi tantangan besar dengan semakin punahnya hutan, yang menjadi sumber utama kayu untuk pembuatan jalur. Seiring dengan punahnya hutan, tantangan besar menghadang dalam upaya pelestarian pacu jalur di masa mendatang, khususnya terkait ketersediaan bahan baku. Momen pacu jalur hendaknya menjadi pintu masuk untuk mengkaji ulang pelestarian kayu sebagai sumber kayu jalur, melibatkan peran penting pemerintah, perusahaan swasta, dan masyarakat. Pelaksanaan pacu jalur selama ini tidak bisa dipisahkan dari upaya penyelamatan lingkungan, terutama bagi masyarakat desa yang akan membuat jalur baru. Untuk membuat satu jalur, masyarakat harus mencari pohon kayu berkualitas terbaik, dengan umur dan ketinggian yang memadai. Namun, kayu-kayu besar semakin sulit ditemukan, menimbulkan tantangan serius bagi keberlanjutan tradisi ini. Bupati Kuansing pun mengingatkan akan pentingnya menjaga lingkungan dan melestarikan hutan. "Tolong jaga lingkungan, jaga hutan kita. Jangan setiap tahun buat jalur terus. Kalau tiap tahun buat jalur, bisa punah hutan kita, rusak lingkungan kita. Jalur yang sudah ada saja perbaiki, jangan gara-gara jalur tidak pernah jadi juara, lalu ganti jalur baru, tebang pohon lagi. Perbaiki saja jalur yang sudah ada," tegas Bupati. Menyadari tantangan ini, Pemkab Kuansing telah memberikan subsidi sebesar Rp 50 juta kepada setiap desa yang berpartisipasi dalam pacu jalur. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi tekanan untuk membuat jalur baru setiap tahun, sekaligus mendorong perbaikan jalur yang sudah ada. "Semakin hari hutan semakin habis, untuk itu jalur yang ada diperbaiki saja. Kami siap memfasilitasi agar tiap tahun tidak membuat jalur baru dengan memberikan Rp 50 juta per desa sepanjang untuk mempertahankan budaya," ujar Bupati. Tradisi pacu jalur Kuansing adalah ikon pariwisata unggulan di Kabupaten Kuansing bahkan di Riau. Tradisi yang sudah berusia lebih dari seratus tahun ini, telah masuk dalam kalender pariwisata nasional. Dengan pelestarian yang tepat, pacu jalur tidak hanya bisa terus berlangsung sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai daya tarik pariwisata yang membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat Kuansing. Pelestarian pacu jalur harus dilakukan seiring dengan pelestarian hutan. Pemerintah, perusahaan swasta, dan masyarakat harus bersatu padu dalam menjaga kelestarian hutan. Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan pacu jalur tetap bisa eksis sepanjang masa, dan hutan Kuansing tetap lestari untuk generasi mendatang. (***) |
||||||
|
HOME | OTONOMI | POLITIK | EKONOMI | BRKS | OTOMOTIF| HUKRIM | OLAHRAGA | HALLO INDONESIA | INTERNASIONAL | REDAKSI | FULL SITE |
Copyright © 2010-2025. All Rights Reserved |