www.halloriau.com


BREAKING NEWS :
DLHK Pekanbaru Intensifkan Penegakan Jam Buang Sampah
Otonomi
Pekanbaru | Dumai | Inhu | Kuansing | Inhil | Kampar | Pelalawan | Rohul | Bengkalis | Siak | Rohil | Meranti
 


Pertamina Baru, Untuk Semangat Terbarukan
Rabu, 26 Oktober 2016 - 17:12:50 WIB

Laki-laki itu tiba-tiba saja menemukan harta karun sebesar Rp 100 miliar. Mendapat rezeki nomplok yang tak terduga, dia memakai harta karun seenaknya, tanpa perhitungan. Setiap hari kerjanya hanya foya-foya saja. Padahal dia sebenarnya tahu, bahwa harta karunnya ini suatu saat akan habis. Tapi karena terlanjur senang foya-foya - atau sebelumnya dia tak pernah berfoya-foya karena himpitan ekonomi - suatu hal yang mengkhawatirkan itu tak dihiraukannya. Laki-laki itu menutup matanya. Dalam mindset pikirannya hanya tergambar bagaimana cara menghabiskan harta karun ini, dengan foya-foya.

Kerja sudah tak ada lagi dalam benaknya. Nabung? Nanti dulu. Jangankan untuk kerja atau nabung, bahkan untuk memikirkan atau mengelola harta karunnya dengan investasi bisnis atau apapun namanya, tak ada. Laki-laki itu hanya maunya senang-senang saja.

Waktu terus bergulir seiring masa yang terus berjalan. Harta laki-laki itu mulai menipis, bahkan dalam beberapa hari ke depan bakalan habis. Awalnya, mungkin dia masih bisa menjual barang-barang mewahnya. Tapi karena hobi foya-foyanya sudah melampaui batas, penjualan hasil barang-barang mewahnya itu, tak bertahan lama. Laki-laki itupun menemui ujungnya, saat dia sudah tak memiliki apa-apa. Mau kerja? Rasanya fisik sudah tak mampu karena usia makin menua, dan lagi pengalamannya yang segudang cuma foya-foya, tak ada yang lain. Laki-laki itu akhirnya jatuh bangkrut. Kehidupannya lumpuh. 

..........

Cerita di atas hanyalah sebuah analogi untuk menggambarkan ironi peradaban yang tengah dijalani oleh manusia saat ini, terkait energi. Lihat saja, saat ini hampir setiap hari di koran-koran atau di televisi selalu memberitakan tentang adanya pemadaman listrik di berbagai daerah. Tak terkecuali di Riau, khususnya di Kabupaten Pelalawan.

Selama ini, segala kenyamanan yang dirasakan manusia modern, mulai dari penerangan yang memadai, listrik serba guna, hingga transportasi yang nyaman, ternyata hanya bertopang pada sumber energi yang ringkih. Manusia sudah terlalu candu dengan sumber energi fosil. Sumber energi yang pas ditemukan pertama kali, kesannya seperti berlimpah dan tak bakalan habis sehingga membuat manusia jadi besar kepala (persis cerita di atas tadi). Tapi sebenarnya, energi fosil itu jumlahnya terbatas. Ditambah lagi jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan ketersediaan energi fosil semakin berkurang karena konsumsi energi per kapita akan meningkat. Sementara paradigma kita seolah-olah masih belum bergeser di era 80-an, saat minyak dan gas bumi yang berasal dari energi fosil masih menjadi produk paling sensasional dan sensual di Indonesia. 

Padahal energi tersebut, sebelum habis pun, keberadaan manusia bakal terancam. Sumber energi ini mengotori bumi. Akumulasi efek penggunaan sumber energi yang kotor ini akan membuat bumi jadi tempat yang tak mudah lagi untuk ditinggali manusia. Udara makin kotor, air laut menenggelamkan makin banyak kota padat penduduk, gagal panen di mana-mana, jumlah ikan untuk dipancing semakin berkurang, kekeringan di berbagai wilayah, dan masih banyak lagi. Kesemuanya itu bisa mengantarkan pada ketidakstabilan politik dan ekonomi hingga berujung pada peperangan.

Memang, krisis energi tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Cadangan energi di Indonesia, terutama energi fosil (minyak bumi, gas dan batu bara) semakin hari semakin menyusut, dan pasti akan habis. Hal ini makin diperparah dengan pemborosan dalam penggunaan energi fosil.

Pemadaman listrik yang kerap terjadi saat ini dikarenakan masih banyaknya pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar minyak. Sehingga jika harga minyak/solar naik maka akan terjadi pembengkakan biaya. Selain itu, musim kemarau juga bisa amenjadi penyebab makin parahnya krisis energi listrik. Sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) akan kesulitan jika debit air yang menjadi penggerak turbinnya berkurang. Ini beberapa kali terjadi di PLTA Koto Panjang, yang listriknya dialirkan untuk warga di Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Barat.

"Sejak 7 Oktober hingga 12 Oktober tiga turbin yang menghasilkan 114 MW tidak bisa berfungsi. Sudah 19 tahun keberadaan PLTA ini, dan baru kali pertama dalam sejarahnya ketiga turbin tidak bisa difungsikan karena minimnya debit air," kata Asisten Menejer Operasi dan Pemeliharaan Sektor Pembangkit Pekanbaru, Syahminan Siregar, seperti dikutip halloriau.com, awal Oktober.

Jika kondisi di lapangan saja sudah seperti itu, maka sudah pasti terjadi krisis listrik/energi. Jelas ini akan mengganggu pada sektor ekonomi, sehingga sudah saatnya semua pihak memikirkan penggunaan energi alternatif yang bisa diterapkan.

Persoalan inilah yang selama ini terjadi dalam dunia energi di Indonesia. Padahal negara kita sangat kaya dengan sumber energi alternatif dan yang terbarukan. Misalnya saja panas bumi, angin, biomassa dan lain-lain. Tapi sayangnya, sejauh ini pemerintah belum terlalu serius menggarap potensi-potensi seperti ini. Padahal payung hukum untuk ini sudah teruang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Langkah diversifikasi energi memang sudah sangat mendesak, melihat perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini di berbagai daerah. Dengan adanya Perpres itu, pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan guna mengembangkan sumber-sumber alternatif pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM). Pada kebijakan itu ditekankan bahwa pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri perlu untuk diarahkan kepada diversifikasi sumber, selain minyak bumi (20 persen), diantaranya adalah gas bumi (30 persen), batu bara (33 persen), dan energi terbarukan (17 persen).

Namun nyatanya, sejak Perpres itu dikeluarkan - terhitung sudah 10 tahun sampai saat ini - paradigma kita dalam hal pengelolaan energi sepertinya belum beranjak dari penggunaan energi fosil, yang notabene, suatu saat nanti akan habis. Ironisnya lagi, kita tak mencari jawaban dalam penyelesaian soal energi dari akarnya namun kerap dari akibat dan gejalanya saja.

Pemadaman listrik, misalnya. Paradigma berpikir kita hanya melihat bahwa persoalan pemadaman listrik yang kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia, dikarenakan sumber energi yang sudah menipis. Padahal ini hanya akibat. Kita seperti tak melihat inti dari permasalahan pemadaman listrik itu sendiri. Hanya akibat yang selalu dilirik oleh berbagai pemangku kepentingan, bukan akar permasalahannya.    

Artinya, paradigma penganakemasan energi fosil masih menjadi dominan para pemangku kepentingan di negeri ini. Meski untuk menemukan energi fosil yang tersembunyi di balik perut bumi itu, memerlukan hig cost serta high risk yang tinggi, namun itu sepertinya diabaikan. Karena paradigma yang belum bergeser inilah, membuat pembahasan mengenai pemaksimalan energi alternatif sampai ke daerah-daerah, belum mendapat porsi dari ruang-ruang para pemegang kebijakan.

Jika dikaji secara mendalam ironis memang soal tata pengelolaan energi di Indonesia. Negara yang terkenal dengan Sumber Daya Alam (SDA)-nya yang gemah ripah loh jinawi ini ternyata harus mengalami krisis energi, yang sebenarnya, tak perlu terjadi, jika pemerintah mau serius sedikit membahas dan memfokuskan untuk pengembangan energi alternatif atau energi baru terbarukan di seluruh penjuru tanah air ini.

Bila di-brake down dari pemaparan di atas, menurut penulis setidaknya ada tiga hal yang harus yang harus dibenahi agar persoalan krisis energi dapat teratasi. Pertama, paradigma energi fosil yang "melulu" menjadi sumber migas selama ini, harus tak menjadi dominan lagi dalam mindset para pemegang kebijakan. Saat ini, lebih dari 50 persen sumber daya energi yang digunakan berasal dari minyak bumi atau energi tak terbarukan, belum termasuk batu bara dan gas alam. Komposisi energi ini begitu rapuh di saat sumber-sumber energi fosil makin menipis seperti saat ini. Artinya, pemerintah harus didesak untuk secepatnya mengambil solusi, sebelum krisis energi yang benar-benar nyata itu terjadi.

Kedua; krisis energi yang terjadi saat ini semestinya harus membuat pemerintah untuk secepatnya melakukan diversifikasi energi. Pemerintah harus mulai serius menggarap potensi-potensi energi baru terbarukan yang ada di Indonesia. Apalagi payung hukum untuk hal ini sudah ada. Selama ini memang implementasinya saja yang masih "lembek". Namun adanya krisis energi ini, membuat pemerintah mau tak mau bahkan harus sudah mulai serius untuk memikirkan diversifikasi energi dalam wujud nyata.

Pemerintah harus mendorong daerah-daerah untuk melakukan perencanaan yang akan memenuhi kebutuhan energi setempat, melalui kekayaan daerah tersebut. Caranya mungkin bisa dengan kerjasama dengan PLN di daerah atau Pertamina di daerah. Sehingga dengan begitu, daerah memiliki kemampuan untuk melakukan perencanaan dan memenuhi kebutuhan energinya sendiri.

Sebagai negara yang kaya akan SDA, kita percaya, setiap daerah di nusantara ini memiliki bahan baku yang luar biasa untuk pengembangan energi baru terbarukan. Misalnya, angin, air, matahari, bio-fuel, dan biogas yang cenderung dipandang sebelah mata, tanpa ada sebuah kebijakan detil yang mengarahkannya agar menjadi gerakan kemandirian energi yang sistemik. Energi-energi ini bisa dikembangkan sebagai energi alternatif yang menopang energi fosil. Namun meski pemenuhan energi diarahkan agar bisa dicukupi tiap daerah, pemerintah pusat juga tidak boleh lepas tangan. Harus ada sinkronisasi penganggarannya. Dalam perencanaan bisa dianggarkan melalui kantor-kantor energi daerah.

Diakui atau tidak, selama ini persoalan energi baru terbarukan seolah hanya dijadikan lampiran saja dalam rencana pengembangan energi nasional. Karena itu, meski payung hukumnya sudah ada namun sejauh ini, pemerintah yang seharusnya sudah serius memikirkan soal kebijakan energi alternatif tapi tampaknya masih asyik berkutat dengan amandemen UU Hulu Migas dan wacana perubahan UU Minerba, yang terus berkelindan dalam bayang-bayang.

Ketiga; kebijakan pemerintah terkait peran Pertamina sebagai satu-satunya perusahaan energi nasional yang ada di Indonesia. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi jika Pertamina sampai saat ini masih menjadi "anak tiri di negara sendiri". Lahirnya UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang diterapkan pada tanggal 23 November 2001, membuat Pertamina tak seperkasa dulu lagi, sebelum UU itu lahir.

Ketua Lembaga Kajian Strategis Indonesia, Irwansyah Bhotenk, SE, berharap Komisi VII DPR RI tidak lagi menunda-nunda RUU Migas untuk menjadi undang-undang inisiatif DPR. Selain itu, dirinya juga berharap RUU Migas tersebut tidak berpihak lagi kepada asing, tidak lagi menjadi undang-undang yang liberal terhadap energi.

"Kita sebagai Lembaga Kajian Strategis Indonesia dan masyarakat Indonesia berharap RUU Migas yang lagi dibahas ini bisa terbentuk kedaulatan energi dan kemandirian energi. Oleh sebab itu, kita berharap RUU Migas ini bisa berlanjut sampai ke paripurna DPR, tidak mandeg seperti selama ini terjadi dan pembahasan RUU Migas ini yang sudah berkali-kali terhenti, dan kita berharap tahun ini dapat mengganti UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas yang menurut kami sangat liberal dan berpihak pada perusahaan-perusahaan asing," terang Irwansyah seperti dilansir Indonews.Id, di Gedung DPR RI, awal Juni lalu.

Menurutnya, dalam UU No.22 Tahun 2001 ini, ternyata asing menguasai 85 persen cadangan energi nasional sementara negara yang dikuasakan oleh Pertamina hanya menguasai 10 persen sampai 15 persen. Dan Pertamina saat ini masih menjadi anak tiri dari negara yang padahal memiliki perusahaan migas nasional.

"Kita ingin Pertamina menjadi perusahaan nasional oil company. Karena dengan Pertamina menjadi nasional oil company maka dari hulu sampai hilir eksplorasi migas kita bisa mencapai lifting minyak kita bisa mencapai maksimum. Sedangkan yang terjadi sekarang ini terhadap migas kita, lifting migas kita belum tercapai sampai titik maksimal, karena perusahaan-perusahaan asing itu tidak ada yang mengawasi dalam proses eksplorasi migas kita. Sebagai contoh misalnya, anggota DPR RI saja untuk masuk ke wilayah eksplorasi perusahaan migas asing sulit untuk masuk, tetapi bagaimana kalau Pertamina menjadi nasional oil company satu-satunya pemegang hak kedaulatan dari sektor migas kita, maka Pertamina dalam pelaksanaannya dikontrol oleh banyak sekali lembaga-lembaga negara, misalnya Presiden ikut mengontrol, DPR ikut mengontrol, Menteri juga ikut mengontrol, BPK, KPK dan internal Pertamina sendiri juga bisa ikut mengontrol," bebernya.

Dikatakannya, yang dikhawatirkan adalah jika kekuasaan industri migas di Indonesia dikembalikan lagi kepada kekuasaan asing maka asing tidak ada yang mengontrol, sehingga pada akhirnya lifting migas kita atau target pencapaian migas tidak akan bisa tercapai. Kalau Pertamina menjadi nasional oil company maka pemerintah dan DPR bisa bersepakat untuk mengembangkan berapa sumbangan migas nasional untuk APBN, misalnya ditetapkan 40 persen.

"Saya yakin Dirut Pertamina, dan jajarannya akan menghitung cadangan migas nasional mereka punya dari Aceh sampai Papua, terus berapa cadangan migas kita yang produktif. Dari situ mereka akan menghitung eksplorasi cadangan migas tersebut sehingga mencapai 40 persen atau bahkan lebih. Saya yakin maka Dirut Pertamina harus memenuhi target, karena kalau tidak memenuhi target ini akan menjadi taruhan kredibilitas dia sebagai Dirut Pertamina," tukasnya.

Itulah kini yang terjadi di dunia migas negara ini. Alih-alih Pertamina yang notabene perusahaan energi nasional mendapatkan porsi lebih agar bisa lebih mandiri, malah perusahaan migas asing yang lebih dominan. Jadi sudah tepat jika RUU Migas harus direvisi agar kedaulatan energi nasional kembali ke pangkuan bumi pertiwi. Dengan begitu, Pertamina sebagai perusahaan energi bisa meningkatkan kembali riset guna meneliti serta mengembangkan energi alternatif, yang pada akhirnya akan bisa mendorong daerah-daerah untuk juga bisa mengembangkan energi baru terbarukan.

Kalau 50 tahun yang lalu, Pertamina sudah bisa membuktikan bahwa negara ini bisa berdikari dalam memenuhi kebutuhan energinya sendiri melalui minyak. Masak saat ini, dengan penguasaan tehnologi yang lebih maju, kemampuan SDM yang mumpuni serta sumber energi alternatif yang berlimpah, Pertamina tak mampu mengulangi hal yang sama untuk memaksimalkan pengembangan energi alternatif, supaya lolos dari ketergantungan minyak negara lain? Kini, saatnya lah Pertamina bermaujud dan berdaulat dalam pemenuhan energi nasional, menjadi Pertamina Baru untuk Semangat Energi yang Terbarukan...Semoga!

Penulis  : Andi Indrayanto

   


Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda)


BERITA LAINNYA    
Buang sampah sembarangan.(ilustrasi/int)DLHK Pekanbaru Intensifkan Penegakan Jam Buang Sampah
ilustrasi8 Tips Biar Lantai Rumah Kamu Wangi Abis Lebaran
Kafilah Siak di MTQ ke-42 Riau di Kota Dumai.(foto: diana/halloriau.com)Mantap, Kafilah Siak Masuk Final 8 Cabang Lomba MTQ ke-42 Riau
Ketua DPRD Kota Pekanbaru, M Sabarudi.(foto: int)DPRD Ajak Masyarakat Dukung Kafilah Kota Pekanbaru di MTQ ke-42 Riau di Dumai
Suzuki New Carry mikro bus.(foto: istimewa)New Carry, Ikon Angkot Indonesia Rayakan Hari Angkutan Nasional
  Sayembara maskot dan jingle Pilgubri 2024 (foto:kpuriau) Berhadiah Rp55 Juta, KPU Riau Buka Sayembara Maskot dan Jingle Pilgubri 2024
Proses PPDB 2024.(ilustrasi/int)Disdik Pekanbaru Gandeng 3 OPD dalam PPDB 2024/2025
Anggota Komisi I DPRD Riau Mardianto Manan (foto:rinai/halloriau)Isu Gelombang Lanjutan Pejabat Pemprov Riau Mundur Berjamaah, Anggota DPRD Riau: Ada yang Tidak Beres
Kadisdik Pekanbaru, Abdul Jamal.(foto: int)Kadisdik Pekanbaru Imbau Sekolah Tak Lakukan Perpisahan di Hotel
Diskes Bengkalis bersama KPU Bengkalis.(foto: zulkarnaen/halloriau.com)Diskes Siap Fasilitasi Pelayanan Kesehatan KPU Bengkalis Selama Pilkada 2024
Komentar Anda :

 
Potret Lensa
Sepanjang Jalan Rajawali Rusak Parah
 
 
 
Eksekutif : Pemprov Riau Pekanbaru Dumai Inhu Kuansing Inhil Kampar Pelalawan Rohul Bengkalis Siak Rohil Meranti
Legislatif : DPRD Pekanbaru DPRD Dumai DPRD Inhu DPRD Kuansing DPRD Inhil DPRD Kampar DPRD Pelalawan DPRD Rohul
DPRD Bengkalis DPRD Siak DPRD Rohil DPRD Meranti
     
Management : Redaksi | Disclaimer | Pedoman Media Siber | Kode Etik Jurnalistik Wartawan | Visi dan Misi
    © 2010-2024 PT. METRO MEDIA CEMERLANG (MMC), All Rights Reserved