Eskploitasi Mangrove di Kepulauan Meranti Tak Sebanding dengan Kontribusi kepada Negara
AROMA arang bakar tercium harum dari dapur atau lazim disebut panglong, tempat arang dimasak. Di sana terlihat beberapa buruh sibuk mengangkut kayu bakau dari dalam sampan yang kemudian ditimbang dan dibayarkan, dimana perkilogramnya kayu mangrove atau bakau sebagai bahan baku pembuatan arang hanya dihargai Rp100 perkilogram.
Sementara itu kayu yang didapat adalah hasil penebangan liar yang dilakukan masyarakat di sepanjang pantai dan bibir sungai di Kepulauan Meranti, Propinsi Riau.
Ironisnya, selain sebagai nelayan, banyak juga warga yang mencari nafkah dari memotong mangrove (bakau) ini. Bakau dipotong untuk dijadikan kayu arang. Ada ratusan masyarakat yang bekerja mengambil bakau. Mereka tak bisa dilarang karena memang sudah tradisi sejak lama.
Menebang kayu di hutan jelas lebih berat konsekuensinya. Makanya, mengambil bakau dianggap lebih mudah, menguntungkan, dan belum ada larangan resmi dari pemerintah daerah setempat.
Padahal pembabatan mangrove dengan berbagai alasan jelas melanggar ketentuan perundangan. Pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, di antaranya diatur larangan penebangan pohon di wilayah 130 kali jarak pasang laut terendah dan pasang laut tertinggi.
Larangan pembabatan pohon di pinggir laut atau mangrove itu tertuang dalam pasal 50 Undang-Undang (UU) Kehutanan, dan diatur masalah pidananya pada pasal 78 dengan ancaman 10 tahun penjara.
Hutan bakau dikenal mampu menjaga keindahan pantai dari ganasnya hempasan ombak laut dan mampu menjaga terjadinya abrasi pantai. Kendatipun fungsinya begitu besar, tidak mengurungkan niat tangan-tangan jahil untuk memusnahkan keberadaan tumbuhan yang melindungi itu.
“Kita susah juga melarang. Tak ada alternatif pekerjaan lain. Jadi kalau angin kencang seperti musim barat atau musim nelayan tak bisa melaut. Alternatifnya mencari bakau itu," ujar Camat Pulau Merbau, salah satu kecamatan di Kepulauan Meranti, M Nazar.
Masyarakat memang bisa memilih tak menebang bakau yang masih kecil. Tapi pengambilan bakau yang dilakukan terus-menerus tentu saja berakibat fatal kepada pesisir yang terus tergerus.
Menurut camat, karakter masyarakatnya sejak lama memang memanfaatkan apa yang ada. Termasuk hutan bakau ini. Arang bakau memang sangat diperlukan, bahkan memiliki kualitas ekspor.
Asisten Deputi Lingkungan dan Kebencanaan Kemenko Kemaritiman, Saha Penggabean mengatakan, berdasarkan hasil kajian pihaknya abrasi menyebabkan daratan banyak terjun ke laut.
"Abrasi ini akibat hantaman gelombang laut pada bulan tertentu, juga disebabkan kerusakan mangrove yang mencapai ribuan hektar," katanya.
Dia mengatakan, kerusakan mangrove ini disebabkan adanya penebangan mangrove secara ilegal, baik untuk kayu arang dan kebutuhan lain.
"Atas kondisi itu garis pantai dan batas negara Indonesia bergeser ratusan meter hingga lebih 1 kilometer," ujarnya.
Gubernur Riau Syamsuar mengatakan, hasil kajian Tim Kemenko Kemaritiman dan BPPT tersebut nantinya akan dibahas bersama Menko Kemaritiman, dalam rangka dicarikan solusi atas persoalan abrasi di tiga pulau Riau.
"Termasuk nanti dicarikan solusi terhadap pemberdayaan masyarakat dan persoalan-persoalan mangrove yang nanti akan direhabilitasi," katanya.
Berdasarkan informasi yang pihaknya terima, ditiga pulau terluar termasuk Kepulauan Meranti saat ini terjadi ketidakseimbangan antara keberadaan hutan mangrove dengan tempat pengolahan arang dari kayu mangrove. Dimana, lebih banyak tempat pengolahan arang dibandingkan dengan populasi hutan mangrove itu sendiri.
"Kami berharap tempat pengolahan arang ini juga harus dievaluasi, karena jumlahnya yang banyak dan tidak terkendali," ujarnya.
Jika keberadaan tempat pengolahan arang tersebut sudah dievaluasi, Syamuar berharap Kementerian terkait dalam hal ini Kementerian Desa Tertinggal, dapat bersama-sama dengan pemerintah daerah untuk melakukan pemberdayaan masyarakat. Terutama masyarakat yang bekerja sebagai pencari kayu mangrove.
"Kalau pemerintah daerah saja tentunya tidak sanggup untuk memberdayakan masyarakat disana karena keterbatasan anggaran. Jadi akan kami minta bantuan juga lintas kementerian terkait untuk hal itu," katanya.
Sebenarnya pada tahun 2013, ada perusahaan yang telah membuat bahan bakar alternatif selain arang bakau. Pembuatan briket ini berbahan baku uyung atau kulit luar sagu. Akan tetapi, perusahaan ini hanya bertahan Tak lebih dari dua tahun karena pasokan bahan baku yang tak memadai.
Perusahaan dari Swedia ini membeli uyung masyarakat dengan nilai yang dianggap terlalu murah. sehingga masyarakat tak bersedia lagi memasok uyung untuk bahan baku briket.
Salah satu kendalanya adalah ongkos transportasi dari tempat uyung ke pabrik pengolahan yang dinilai cukup tinggi dan tak bisa dipenuhi dengan biaya yang dibayarkan. Perusahaan juga tak punya pasokan sendiri. Akhirnya, perusahaan ini tutup.
Sementara itu arang bakau tetap saja berjaya. Bahkan arang bakau ini diekspor ke Eropa, Arab Saudi, Korea dan Jepang melalui Malaysia, Singapura dan Pulau Batam. Arang bakau ini memiliki ketahanan yang kuat dan api yang bagus.
Banyak rumah makan dan rumah tangga di negara luar terutama Arab Saudi yang menggunakannya dalam keseharian untuk memasak dan membakar makanan. Akibat permintaan terus ada, maka penebangan bakau juga terus dilakukan.
Meskipun memiliki cadangan migas yang besar, masyarakat Arab Saudi sangat menghargai cita rasa makanan yang diolah dengan standar proses yang tinggi dan sangat menghindari sisa pembakaran dari bahan bakar yang berasal dari fosil.
Oleh karena, itu makanan khas di daerah jazirah Arab seperti nasi kebuli, nasi bukhori, nasi briani, dan nasi mandi lebih banyak diolah dengan menggunakan pembakaran dari arang kayu.
Kayu bakau yang ditebang biasanya dibawa ke panglong atau dapur pengolahan. Bakau-bakau itu diasapi hingga menghitam. Kadang bisa hingga sebulan baru selesai.
Banyak juga buruh harian lepas yang bekerja di satu panglong, terutama saat bongkar muat.
Di sini memang banyak masyarakat yang merasa terbantu dengan adanya panglong untuk menafkahi keluarganya, namun mereka tidak punya pilihan, upah murah pun mereka jalani.
Dampak kelestarian ekosistem akibat penebangan yang dilakukan masyarakat menjadi alasan pemerintah melarang eksploitasi kayu hutan. Namun di sisi lain aturan tersebut malah menutup periuk nasi para penebang yang telah puluhan tahun melakoni pekerjaan ini.
Syarif misalnya, ia sudah belasan tahun menggantungkan hidup keluarga dari ayunan kapaknya di tengah-tengah hutan bakau. Setiap hari ia mendayung sampan berkilo-kilo meter ke dalam anak-anak sungai untuk mencari kayu jenis bakau maupun nyirih untuk ditukarkan menjadi lembaran rupiah di panglong arang di sekitar sungai di Pulau Merbau.
Dalam satu hari dia mampu mengumpulkan 700 Kg hingga 1 Ton kayu bakau. Untuk jenis bakau yang menjadi bahan utama arang biasanya dihargai Rp 120 hingga Rp 150 perkilogramnya. Sedangkan jenis kayu Nyirih hanya Rp 100 perkilogram, jenis ini hanya dijadikan bahan bakar untuk dapur memasak arang.
"Harga belinya murah tidak naik-naik, sedangkan kayu makin susah dicari," keluhnya.
Syarif hanya satu dari ratusan bahkan mungkin ribuan masyarakat Kepulauan Meranti yang menggantungkan hidup pada bakau dan arang. Dalam satu hari, baik penebang maupun pekerja lepas di industri arang hanya mampu mengantongi Rp 40 Ribu hingga Rp 100 Ribu saja.
Salah seorang pengelola panglong arang di Sungai Suir Tebingtinggi, Apin (32), mengaku sekali produksi dapat mencapai 50 hingga 60 Ton arang dari 3 buah dapur miliknya.
"Sekali bakar lamanya sekitar 40 hari," ujar Apin.
Untuk bahan baku kayu bakau maupun kayu pembakarnya, dipasok langsung oleh para penebang yang datang menjual ke panglong Apin. Para penebang bakau, kata Apin, merupakan masyarakat di desa sekitar panglong.
"Rata-rata satu hari mereka bawa 500 Kg sampai 1 Ton. Tapi kadang juga ada yang 200 Kg saja, kata mereka sekarang kayu sudah susah dicari," ujarnya.
Tidak hanya yang bekerja sebagai pencari kayu, penjaga dapur pun hampir bernasib sama.
Ibarat dua sisi mata uang, pemerintah pun seperti tutup mata dengan aksi penebangan hutan bakau sebagai bahan baku utama arang. Bakau yang menjadi penjaga ekosistem pun harus direlakan, ditebang kemudian dijadikan arang untuk kemudian diekspor ke luar negeri.
Para pengusaha panglong pun seperti mendapat angin segar, dapur-dapur arang mereka terus berasap berubah menjadi pundi-pundi dolar.
Namun tidak bagi para pekerja, semua terlihat kontras jika dibandingkan dengan upah yang diterima. Usahkan memenuhi upah minimum kabupaten (UMK) yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti, untuk makan pagi dan petang saja tidak cukup. Sedangkan beban pekerjaan yang harus mereka lakukan sangat berat.
Selain itu mereka juga tidak anggarkan untuk jaminan kesehatannya, dimana para pekerja panglong arang sangat rentan mengidap penyakit akibat terhirup debu dan asap akibat pembakaran.
Bilan (59), begitu namanya dipanggil, ia merupakan salah satu warga suku Akit yang bekerja di salah satu panglong arang yang berada di Desa Gogok Kecamatan Tebingtinggi Barat. Tugasnya menjaga api dapur arang yang harus terus menyala, hingga proses memasak kayu menjadi arang selesai. Empat panglong yang ia jaga bersama temannya memakan waktu hampir dua bulan untuk selesai dan bongkar muat sebelum diekspor. Untuk satu panglong, kayu yang diisi dan dimasak mencapai 20 ton.
"Api tidak boleh padam, jadi harus dijaga terus. Tidak peduli siang ataupun malam, karena jika api padam arang bisa masuk angin dan tidak bagus hasilnya. Saya baru bisa pulang ke rumah setelah dapur di bongkar, tiga bulan sekali," ucapnya.
Bilan sedang memasukkan kayu bakau ke dalam dapur arang.
Tak banyak yang tahu proses pembuatan arang ini, namun arang yang dipakai di berbagai negara di belahan dunia ini sudah melalui pengorbanan waktu yang sangat panjang.
Kabupaten Kepulauan Meranti, Propinsi Riau merupakan salah satu daerah penghasil arang terbaik di dunia. Untuk Kualitas arang nomor satu langsung diekspor ke Singapura, bahkan sampai ke Jepang, dan Arab Saudi.
Namun dibalik itu semua praktik upah murah terhadap para pekerja terutama para buruh kasar terus berlangsung bagi pekerja panglong arang yang banyak didominasi oleh warga Suku Akit.
Akibatnya, kondisi masyarakat tidak banyak berubah, kemiskinan terus mendera, sedangkan pengusaha terus meraup pundi-pundi dolar dari hitamnya hidup pekerja arang.
Bilan diberi upah kotor sebesar Rp 30.000 perhari dan dipotong untuk makan jadi upah bersihnya sebesar Rp 25.000 perhari. Setelah dua minggu bekerja, barulah diberi upah dengan total Rp.400.000 sehingga bisa pulang dan memberikan nafkah untuk anak dan istrinya.
“Kalau arangnya banyak bisa dapat sampai Rp.500.000, dengan kondisi seperti sekarang ini, tidak lah begitu cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, saya cuma tamat SD inilah kerja yang bisa saya lakukan untuk keluarga,” kata Bilan.
Setiap keluarga menginginkan untuk selalu bersama, beda halnya dengan keluarga Bilan. Siap tidak siap, keluarganya harus rela untuk ditinggalkan. Pekerjaannya yang menyita waktu menuntut dirinya untuk pergi dalam jangka waktu yang lama.
Sangatlah berat, berbulan-bulan harus meninggalkan keluarga tercinta. Keluarga Bilan tinggal di Suak Nipah, Teluk Belitung, Kecamatan Merbau, dengan rentang jarak yang jauh dan geografis alam yang berpulau memaksa dirinya harus melintasi sungai dan mengarungi selat jika ingin pulang.
"Untuk membantu keperluan sehari-hari, istri saya bekerja membuat atap dari daun rumbia dan mencari kerang dan dari hasil itu separuhnya dijual dan separuhnya lagi buat dimakan.Terkadang kalau rindu, istri saya menyusul kesini bersama anak- anak," kata Bilan.
Dari upah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Bilan selalu berusaha untuk menyisihkan uang bagi pendidikan anak-anaknya. Tiga anaknya yang kini masih menyenyam pendidikan di SMP dan SD membutuhkan biaya yang cukup banyak. Sedangkan anaknya yang lain sudah membina keluarga sendiri dan merantau ke daerah lain.
“Saya hanya bisa terus berusaha dan berdoa, Keinginan saya tidak banyak, saya hanya ingin melihat anak-anak tetap sekolah, dan saya tidak ingin anak saya seperti saya," kata Bilan.
Ada sekitar 56 panglong arang yang tersebar di 28 desa di Kepulauan Meranti, untuk mendapatkan bahan baku mereka membelinya dari masyarakat, sementara pohon bakau yang ada sekitaran panglong yang ukurannya mencapai hampir sebesar kaki orang dewasa hanya dijadikan pajangan saja.
Jumlah panglong terdata mencapai 56 unit itu terdiri dari 220 tungku yang tersebar di Kecamatan Tebing Tinggi, Rangsang, Pulau Padang dan Merbau.
Jika diasumsikan sekali produksi pertungku 20 ton kayu bakau, maka dalam waktu dua bulan sebanyak 4.400 ton kayu bakau menjadi arang. Dengan penyerapan tenaga kerja dimasing-masing panglong 5-7 orang pertungku dan membutuhkan 10-20 buruh.
Terlihat beberapa pekerja sedang menyusun kayu bakau di dalam dapur arang, pada proses ini, kayu siap dibakar.
Panglong arang yang tersebar di Kepulauan Meranti tidak satupun mengantongi izin industri.
Kalaupun ada, panglong tidak dibenarkan membangun didalam kawasan hutan tanaman rakyat, tapi dibangun di kawasan peruntukan lainnya.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Koperasi Usaha Kecil Menengah (Disdagperinkop-UKM) Kepulauan Meranti, Drs M Azza Fahroni, melalui Kepala Seksi Industri Logam Mesin eletronika Aneka dan Kerajinan, Miftah SE mengatakan sampai saat ini pihaknya belum ada mengeluarkan rekomendasi izin panglong arang. Namun yang baru dilakukan hanya pendataan saja.
"Kita belum ada mengeluarkan izin industri terkait panglong arang. Mereka itu beroperasi atas dasar rekomendasi sejak zaman Bengkalis, sebelum Kepulauan Meranti dimekarkan. Jadi bisa dikatakan operasional panglong arang itu ilegal," kata Miftah.
Panglong arang memang banyak terdapat di wilayah Kepulauan Meranti. Target produksinya adalah ekspor. Nilai tukar dari ekspor arang adalah dolar Amerika Serikat. Makanya tak jarang jika banyak terdapat industri arang di wilayah Kepulauan Meranti.
Sementara itu, dari analisis kelayakan investasi diperoleh nilai NPV (net present value) dalam hal industri produksi arang, nilai NPV adalah sebesar Rp3.600.850.000 dalam periode 20 tahun masa investasinya. Dengan nilai yang sangat positif ini maka industri arang terus saja berkembang di Kabupaten termuda di Propinsi Riau ini.
Seorang pekerja di panglong arang yang sedang melakukan packing. Bungkusan itu yang ada yang didatangkan langsung dari Cina.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kepulauan Meranti, luasan hutan mangrove di kabupaten bungsu Riau itu mencapai 25.000 Hektar, yang mana 18.300 Hektarnya sudah didaftarkan sebagai Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Pulau Padang.
Semua hutan mangrove yang telah terdaftar sebagai HTR tersebut terletak disana, sedangkan sisanya yang berada di pulau-pulau lain dan belum terdaftar sebagai HTR oleh pemerintah pusat.
Selama ini pengusaha panglong arang di Kepulauan Meranti berselindung dibalik adanya hak pengelolaan terhadap 18.300 hektare hutan tanaman rakyat (HTR) yang terletak di Pulau Padang itu. Mereka disinyalir menyalahgunakan izin yang diberikan dengan membabat hutan kayu bakau dan menjadikannya sebagai bahan baku industri pengolahan arang.
Sebelumnya mereka berusaha atas dasar Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Seiring otonomi daerah, maka sejak tahun 2001 sampai 2006 mereka mengantongi Izin Hasil Hutan Lainnya dari Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkalis sebelum mekar menjadi Kabupaten Kepulauan Meranti.
Lalu mereka menggunakan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu- Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) yang dikeluarkan Bupati Kepulauan Meranti kepada ketiga koperasi.
Adapun IUPHHK-HTR yang dikeluarkan Bupati Kepulauan Meranti kepada tiga Koperasi yakni Koperasi Silva Nomor SK.105/HK/Kpts/VI/2014 tanggal 23 Juni 2014 dengan luas 700 hektar, Koperasi Silva Sejahtera Berseri SK.107/HK/Kpts/ VI/2014 tanggal 23 Juni 2014 dengan luas 700 hektar dan Koperasi Mangrove Meranti Lestari SK.106/ HK/Kpts/ VI/ 2014 tanggal 23 Juni 2014 dengan luas yang sama yakni 700 Hektar. Adapun lokasinya berada di lima Desa yakni Desa Selat Akar, Mengkopot, Tanjung Padang Kecamatan Tasik Putri Puyu dan Desa Bagan Melibur di Kecamatan Merbau.
Dari tiga koperasi yang berikan untuk izin untuk mengelola HTR, hanya Koperasi Silva yang memiliki pengurus lengkap, sedangkan dua koperasi lainnya jangankan anggota, untuk melakukan Rapat Anggota Tahunan (RAT) saja tidak pernah.
"Tiga koperasi yang mengelola HTR hanya satu yang baru jelas keberadaannya, yang duanya lagi jarang dan terkesan fiktif ketika mereka melakukan RAT. Keberadaan mereka hanya ingin mendapatkan penguasaan lahan di Pulau Padang, kemaren sudah saya usulkan untuk izinnya supaya ditutup," kata Kepala Bidang untuk Koperasi, Disdagperinkop Kepulauan Meranti, Agib Subardi.
Tidak ada yang boleh menebang tanaman Mangrove atau bakau yang berada di Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Melainkan hanya dahan dan cabang yang ditebang, jika lebih dari itu maka akan dipidana sesuai ketentuan yang berlaku. Namun faktanya, setiap harinya ratusan pohon bakau dengan berbagai ukuran ditebang untuk dijadikan arang, rata- rata panjangnya mencapai 5-6 meter dan diameter 30 centimeter.
Padahal didalam peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.04/VI- BUHT/2012 tentang Hutan Tanaman Rakyat menjelaskan khusus pemanenan di lahan mangrove yang bertujuan untuk produksi arang, kegiatan pemanenan dilakukan sebagai panen antara dengan cara pemangkasan cabang sesuai dengan kebutuhan, sedangkan pemanenan pohon utama dilakukan pada akhir daur dengan sistem tebang pilih.
Sekretaris Koperasi Silva, Lukman yang dikonfirmasi mengakui bahwa di Pulau Tebingtinggi ada enam surat rekomendasi izin tempat usaha industri Panglong arang yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Meranti pada tanggal 5 Oktober 2015 silam.
“Kita ada rekomendasi izin usaha panglong arang dari Kepala Dinas Kehutanan Mamun Murod waktu itu, ada enam semuanya di Tebing Tinggi," katanya.
Dalam surat rekomendasi itu juga disebutkan bahwa panglong arang diperbolehkan mengunakan bahan baku kayu bakau sesuai perjanjian kontrak No.23/LMML/X/2014 Pada 16 Oktober 2014 menggunakan bahan baku kayu bakau yang disuplai dari area IUPHHK-HTR dari Pulau Padang. Namun ketika ditanyakan kenyataannya bahwa industri palong arang tersebut dari hasil kayu yang digarap dari hutan bakau disepanjang wilayah pantai dan sungai di Kepulauan Meranti, pria yang dulunya sebagai petugas kehutanan ini mengelak dan mengatakan tidak mengetahuinya.
”Saya tidak tau dimana masyarakat yang mengambil kayu tersebut, kami cuma membeli," katanya.
Disinyalir izinnya tidak sesuai dengan prosedur izin, maka ada indikasi negara dirugikan dari pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).
Dimana setiap produksi ada PSDH yang dibayarkan dalam bentuk rupiah dan DR dalam kurs dolar Amerika yang dibayarkan ke negara. Artinya ada uang masuk ke kas negara yang disetorkan ke Sekretariat Jenderal Biro Keuangan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Bukti setoran PSDH ke negara.
Hal ini bisa dikatakan kayu mangrove menjadi salah satu penyumbang pendapatan ke kas negara, namun hal itu tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan akibat penebangan bakau sebagai bahan baku arang.
Berdasarkan keputusan menteri perindustrian dan perdagangan Nomor: 510/MPP/Kep/6/2002 tanggal 28 Juni 2002 tentang penetapan harga patokan untuk PSDH. Pungutan itu sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dari hutan negara, dimana arang yang berasal dari bakau dipungut sebesar Rp320 ribu per ton.
Sementara itu, Dana Bagi hasil (DBH) Dana Reboisasi (DR) yang disalurkan pusat untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi seperti melakukan penanaman kembali di area sungai yang mengalami kritis juga tidak bisa dilakukan secara optimal dikarenakan hanya untuk kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dan tidak boleh untuk kegiatan pendukungnya, sehingga ruang gerak pemerintah daerah menjadi terbatas.
Bukti setoran Dana Reboisasi ke negara.
Masalah ternyata tidak sampai disitu, retribusi yang dipungut dari industri pengolahan arang bakau di Meranti ternyata tidak setimpal dengan akibat yang ditimbulkan. Selama ini, tarif retribusi yang ditarik dari izin Hinder Ordonantie (HO) atau izin gangguan industri arang bakau hanya sebesar Rp 400 ribu. Dan itu pun tidak berlaku lagi sejak tahun 2017.
"Kalau dulu ada HO yang bisa kita tarik, namun sejak 2017 sudah tidak lagi, yang bisa kita tarik itu hanya PBB dan reklame saja, itupun ditarik tergantung luas bangunan yang digunakan parapengusaha industri arang bakau, hanya sekitar 1 jutaan saja pertahun setiap panglong," kata Kepala Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Kabupaten Kepulauan Meranti, Ery Suhairi.
Wakil Bupati Kepulauan Meranti, Drs H Said Hasyim mengatakan berdirinya usaha puluhan panglong arang di Kepulauan Meranti akibat dari kebijakan yang salah yang menyebabkan ekosistem di daerah itu menjadi rusak.
"Hutan Mangrove kita ini merupakan terbaik di dunia. Namun karena ada kebijakan lama yang salah yang mengizinkan usaha panglong arang mengakar menyebabkan ekosistem dan biota menjadi rusak," kata Said Hasyim.
Selama ini, kata Wakil Bupati usaha panglong arang hanya mengedepankan persoalan sosial, sehingga banyak masyarakat yang menggantung hidup dari hasil menjual kayu mangrove untuk bahan baku pembuatan arang.
Seperti diketahui, panglong arang membeli kayu mangrove hasil tebangan dari masyarakat dengan harga yang sangat murah yakni Rp130 perkilo sedangkan arang yang sudah jadi dijual keluar negeri dengan harga jual dolar.
Untuk itu, Wakil Bupati memerintahkan agar panglong arang ditutup dan tidak diberikan beroperasi lagi.
"Masyarakat tidak dapat apa - apa dari berdirinya industri panglong arang, hanya sebagian kecil saja. Namun kerugian yang ditimbulkannya sangat banyak, untuk itu kita akan tutup panglong arang itu," kata Said Hasyim.
Sementara itu, untuk pekerja yang menggantungkan hidup di panglong arang, wakil bupati akan memberikan solusi bagi mereka agar bisa terus melangsungkan kehidupannya.
"Buruhnya kita berikan kebun agar mereka bisa bercocoktanam. Kebijakan ini kita akomodir dengan menggunakan program pusat," ujar Said.
Sementara itu, Ketus Komisi II DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti, Muzamil meminta agar Pemkab Kepulauan Meranti segera mengambil langkah bijak untuk mengatasi permasalahan lingkungan di Meranti. Menurutnya, permasalahan lingkungan saat ini sudah memasuki tahap kritis. Menurutnya, PAD yang masuk ke kas daerah atas industri arang juga tidak setimpal dengan kerusakan yang ditimbulkan.
"Tidak hanya perambahan mangrove yang tersistematis. Coba dihitung ulang, mana banyak nelayan ketimbang pekerja arang," ujarnya.
Muzamil menegaskan, pihaknya sangat mendukung geliat industri di Meranti. Kendati demikian, geliat industri di Meranti juga harus berdampingan dengan alam dan tidak merugikan masyarakat di sekitar.
"Ini harus dipikirkan oleh pemerintah, karena ini adalah termasuk dalam PR terbesar saat ini," ujarnya.
Plt Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan ( KPH) Tebingtinggi, Kepulauan Meranti, Arif Hendratmo mengatakan untuk izin tebang hutan mangrove di Kepulauan Meranti hanya berada di Pulau Padang Kecamatan Merbau. HTR disana dikelola oleh masyarakat yang diberikan untuk menyelesaikan konflik yang pernah terjadi berapa tahun silam.
Dikatakan, dalam luasan yang diberikan sudah diberi kuota penebangan, namun jarang terealisasi.
"Dalam luasan HTR yang diberikan silahkan ditebang berapa saja, namun seperti yang dilaporkan ke kami, realisiasinya tidak pernah tercapai, jika diberikan 3000 yang terealisasikan itu cuma 2700 dan itulah yang dibayarkan ke negara atau beban PSDR nya," kata Arif Hendratmo.
Sementara itu adanya penebangan mangrove diluar area HTR, Arief tidak mau berkomentar banyak, namun pihaknya mencoba untuk menertibkan eksploitasi hutan bakau yang telah terjadi sejak bertahun-tahun.
"Diluar area HTR itu yang mau kita rapikan, karena ini menjadi sangat dilema. Saya tidak bisa mengiyakan, atau menolak yang menjadi rumor, namun saya mohon petunjuk ke pusat, agar ini bisa selesai. Kita bukan ingin melegalkan yang ilegal, tapi yang sekarang terlanjur akan diusulkan beberapa format agar kami juga bisa ikut mengelola," ujar Arif.
Namun format seperti apa yang akan diterapkan, kepala UPT KPH ini belum bisa membeberkannya.
"Saya sudah berdiskusi ke pusat untuk untuk menangani masalah ini. Panglong arang bisa jadi dilegalkan jika bekerjasama dengan kami. Mereka wajib bekerjasama agar mereka bisa legal dan resmi menjadi mitra kami dan ada kontribusi bagi daerah dan pusat," ujarnya.
Lebih jauh dikatakan, dirinya merasa gamang jika panglong arang ini ditutup langsung, karena ada beberapa hal yang menjadi polemik jika aturan benar- benar diterapkan.
"Saya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, namun yang dilakukan panglong arang membeli kayu dari masyarakat diharapkan tidak ada lagi. Saya tak ingin muluk- muluk, yang penting disini semua bisa nyaman. Jika ada desakan yang ingin menutup panglong bagi kami tak ada masalah. Saya sebagai pemangku wilayah dalam mengelola kawasan hutan menilai dengan ditutup makin bagus hutan bisa kembali lestari, tapi bantu kami dalam hal pengamanan. Jika dilakukan apa dampaknya dan apa solusinya, berapa orang yang terlibat ekonominya di sana dan berapa mata rantai ekonomi yang putus," kata Arif.
"Saya berpikir jika ditutup maka akan hilang pekerjaan dan habis mata pencarian masyarakat yang sudah sejak puluhan tahun bergantung disana, itu dari sisi kemanusiaan. Jika dari sisi sebagai birokrasi penyelamatan hutan saya senang hutan bisa kembali lestari. Bisa saja jika dapat amanah dari pusat untuk merapikan ini, bisa jadi kewenangan saya ada, sesuai aturan saya bisa saja menutup dan tak juga ada kepentingan di sana," ujarnya lagi.
Adapun solusi yang diberikan adalah membangun pola kemitraan KPH bersama masyarakat setempat yakni dengan menjadikan kawasan hutan mangrove tersebut sebagai hutan adat, hutan desa, maupun HKM ataupun HTR.
"Sebenarnya ada beberapa pola yang bisa dikembangkan, silahkan dan itu boleh, namun yang mengusulkan bukan kami tapi harus desa, koperasi, kelompok tani, BUMDes, tinggal pilih saja sesuai kebutuhan," ujarnya.
Sementara itu Pendamping dari Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera, Sugeng mengatakan pihaknya saat ini sedang mengajukan permohonan untuk menjadikan pengelolaan hutan di Kepulauan Meranti menjadi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kepulauan Meranti.
Dimana untuk hutan mangrove seluas 14.443 hektar yang diusulkan 24 kelompok dan 6500 hektar untuk hutan alam yang diusulkan 4 kelompok.
Dia mengatakan keberadaan masyarakat disekitar hutan sangat berperan penting dalam pengelolaan hutan. Untuk itu Masyarakat perlu dilibatkan, termasuk dalam hal memegang legalitas.
"Jika hak perizinan hutan ini sudah dipegang oleh masyarakat, maka masyarakat diuntungkan dan bisa bergaining untuk menjual hasil hutan seperti mangrove sebagai bahan baku arang. Selama ini kan harganya sangat murah, jadi mau tak mau untuk keberlangsungan usaha panglong arang, pengusaha harus bekerjasama dengan masyarakat yang nantinya dilakukan MoU," kata Sugeng.
Dikatakan, saat ini proses legalitas itu sudah dalam tahap lolos administrasi yang kemudian tinggal menunggu rekomendasi dari KPH.
"Saat ini berkas yang diajukan sudah lolos administrasi, tinggal menunggu rekomendasi dari KPH, dimana mereka meminta usulan IUPHKM sebagai dasar tim verifikasi dari kementerian turun ke lapangan. Setelah itu tetap KPH yang mengambil alih terhadap hutan kemasyarakatan itu," ujarnya.
Sebelum mengajukan, pihaknya terlebih dahulu sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang hutan kemasyarakatan ini.
"Sebelumnya sudah dilakukan sosialisasi dan tanggapan masyarakat sangat bagus terhadap ini, mereka sangat antusias untuk dilibatkan dalam program ini," kata Sugeng.
Ekspor arang yang dilakukan sejak bertahun-tahun itu pun diketahui tidak memiliki izin yang lengkap.
Setelah kayu bakau dipanggang, arang yang siap jadi dipacking menggunakan goni berukuran 50 Kg, tak jarang juga terlihat ada yang dipacking berukuran 1 Kg dengan menggunakan kemasan yang bertuliskan 'Made In Singapura'.
Pengelola panglong, Apin mengaku puluhan ton arang hasil produksi panglong tersebut langsung diangkut ke Batam untuk dijual ke Singapura.Bahkan kemasannya berlabelkan produk Singapura yang setiap dua puluh hari kapal dari negara berlambang singa tersebut langsung menjemput di pelabuhan panglong arang tersebut, tanpa melalui pelabuhan umum.
"Kualitas I untuk diekspor ke Singapura, bahkan katanya sampai dibawa ke Arab. Kalau berapa harga jual arangnya di sana, saya kurang tau," aku Apin.
Untuk ekspor saja, arang kayu bakau yang keluar dari Kepulauan Meranti mencapai 400-500 ton per bulan, data itu didapat dari Kesyahandaran Otoritas Pelabuhan (KSOP) ketika Koperasi Silva sebagai penampung arang mengurus Surat Izin Berlayar dan Nota Angkutan sebagai dasarnya.
Jumlah ekspor itu tidak sesuai dengan jumlah kayu dari data setoran PSDH dan DR yang dibayarkan ke negara, di dalam bukti setoran hanya disebutkan jumlah satuannya saja.
Ada yang mengganjal, dimana Nota Angkutan yang dilampirkan menggunakan Kop surat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun yang menandatangani surat tersebut adalah petugas Koperasi disertai dengan cap stempel.
Bukti surat Nota Angkutan berlogo Kementrian yang digunakan untuk ekspor arang sebagai dasar penertiban dasar penerbitan surat izin berlayar dari KSOP.
Seperti diketahui, dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 43/Menlhk-Setjen/2015 tentang penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan alam setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan Kayu Hasil Pemanenan (KHP), wajib dilengkapi bersama-sama dengan dokumen angkutan yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH) yang diterbitkan oleh penerbit secara self assessment.
Nota Angkutan diterbitkan secara self assessment oleh karyawan pemegang izin yang memiliki kualifikasi Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (GANISPHPL) sesuai kompetensinya dan penetapannya oleh pemegang izin. Sementara itu, Kopsilva tidak memiliki izin industri sebagai penampung arang kayu yang siap diekspor. Mereka hanya diketahui pemegang IUPHHK-HTR yang sudah memiliki user di aplikasi melalui aplikasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPPUH).
Dan pada akhirnya, memang sangat disayangkan jika bakau-bakau yang dikorbankan pemerintah untuk menjaga periuk nasi masyarakatnya, malah dimanfaatkan oleh mafia arang yang terus memperbudak masyarakat Suku Akit sebagai pekerja.
Penulis: Ali Imroen
Editor: Yusni Fatimah
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: [email protected]
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :